Gemetar tanganku membuka lipatan kertas kumal itu. Kertas impian Cahaya yang beberapa hari lalu sempat kuabaikan, namun begitu mengusik penasaran kini. Rangkaian kalimat singkat beradu dengan kabut yang mengaburkan pandangan. Sesak.
***
“Mak, sudah lihat kalender?” Aku menghentikan gerakan tangan dari mencuci
sayuran, menoleh sejenak ke sumber suara.
Di depan pintu dapur tampak Cahaya tengah mengulas senyum.
“Emang kita punya kalender?” Kulanjutkan kembali aktivitas yang tertunda,
menyiapkan bahan untuk dagangan pecel pagi ini.
Meski urung namun kujawab jua pertanyaan Aya, panggilan untuk Cahaya.
“Ada, Mak. Tuh, di depan.” Ah ya, aku ingat. Satu karton bekas yang ditulisi dengan
rangkaian angka dan hari beserta keterangan singkat kini terpajang di ruang
depan. Kalender hasil kreasi tangan Aya. Mungkin bentuk protes atas sikapku yang
enggan membeli kalender dikarenakan sayang akan rupiah.
“Sebentar lagi tanggal sembilan
Desember.” Kini Aya telah berdiri di
sampingku.