28 Maret 2012

ROKOK DAN KAOS BOLA

             Rokok dan bola adalah dua makhluk tak terpisahkan dari pribadi Ayah.  Ibarat api dan asap, air dan basah, telah menyatu sejak kemunculannya pertama di muka bumi.  Pekerjaan yang sehari-hari hanya menjaga toko klontong milik pribadi tentu semakin mengakrabkan Ayah dengan dua hobinya itu.  Ia bahkan sengaja membeli satu TV bekas dari Mang Rusli untuk ditempatkan di sudut toko, agar saat pertandingan bola ia tetap bisa menjaga toko sambil leluasa menyaksikan jalannya pertunjukkan.  Dan sudah pasti, teman paling setia yang tak akan ketinggalan adalah batang rokok. 

Maniaknya Ayah terhadap bola sudah mencapai stadium akhir.  Dulu sewaktu timnas Indonesia bertanding melawan kesebelasan Malaysia di Gelora Bung Karno, Ayah rela mengantri tiket yang meski kelas paling murah tetap saja bagiku harganya selangit.  Tidur di sisi luar stadion bersama sesama maniak yang datang dari berbagai daerah pun sanggup dilakoni.

"Atas nama nasionalisme.  Harus cinta negeri, dong!"  Kilahnya saat Emak menyampaikan protes atas jatah uang yang terpaksa disunat demi membeli tiket.  Aku dan Emak hanya bisa geleng-geleng kepala.

07 Maret 2012

MAHAR

              Nanar ditatapnya langit-langit kamar.  Pikiran Ammar menerawang, mengenang proses ta’aruf enam bulan lalu.  Kurang dari satu bulan istikharah dilanjutkan dengan temu keluarga dan khitbah.  Namun niat tak ingin berlama-lama akhirnya kandas sudah.  Ah, andai bukan karena mahar yang menurutnya terlalu dipersulit, tentu setidaknya tiga bulan lalu ikrar suci itu telah ia lafadzkan.

            “Tring.”  Teriakan hp membawanya ke alam sadar.  Deretan kata dalam pesan singkat ia telusuri.

            “Akhi, afwan ana hanya sekedar evaluasi mengenai permintaan adik ana.  Sampai saat ini, berapa persen mahar sesuai yang disyaratkan telah sanggup terpenuhi?”  Ridwan, kakak sang calon kembali menagih janji.  Tentulah atas permintaan Khadijah, adik semata wayangnya.

Setelah disimpannya hp tanpa memberi jawaban, Ammar kembali berbaring.  “Tak perlu kujawabpun pastilah mereka tau kondisiku.”  Pikir hatinya.

            “Mengapalah tak sejak awal ia mensyaratkan mahar itu pada biodatanya, jika akhirnya menjadi demikian wajib tak tertawarkan.  Atau minimal saat ta’aruf.  Mengapa juga harus mengiyakan, bahkan memajukan urusan sampai ke khitbah.”  Sesal Ammar, merunut permintaan Khadijah yang baru diterimanya saat menjelang akad.  Entahlah dirinya yang salah karena tak mempersiapkan diri sejak dulu, atau Khadijah yang terlalu berlebihan.

           

Memeluk Kenangan

Saat aku mencoba melupakan namun gagal, Saat itulah aku memutuskan untuk berhenti melupakan. Berdamai. Merangkai kisah dalam ...