Ikhlas adalah perkara hati, karenanya tidak ada yang berhak memberikan penilaian hanya berdasarkan apa yang terlihat secara dzahiriah.
Kita tidak bisa menilai seseorang adalah ahli ikhlas, semata karena ia menutupi amalan ibadahnya, pun sebaliknya, seseorang yang menampakkan amalan tidak selalu berarti dia adalah seorang yang tidak ikhlas atau bahkan ahli riya'.
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda,
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص : اِنَّ اللهَ لاَ
يَنْظُرُ اِلىَ اَجْسَامِكُمْ وَلاَ اِلىَ صُوَرِكُمْ وَ لٰكِنْ يَنْظُرُ
اِلىَ قُلُوْبِكُمْ. مسلم
“Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuhmu dan tidak pula menilai kebagusan wajahmu, tetapi Allah melihat (menilai) keikhlasan hatimu”. [HR. Muslim]
Namun, sungguh bukan perkara yang baik juga jika kita lantas mengurungkan niat untuk beribadah atau beramal, hanya karena terlanjur dilihat oleh banyak orang.
Karena yang dimaksud dengan riya' sendiri adalah ketika kita meninggalkan sesuatu karena manusia. Sedangkan jika kita melakukan sesuatu karena manusia, maka perkara ini masuk ke dalam kategori syirik.
Lantas bagaimana sebaiknya? Berlomba menutupi amalan? atau mengumbar ibadah demi dapat dicontoh oleh banyak orang?
Sahabat, sekali lagi, ikhlas murni perkara hati. Maka yang terbaik yang harus kita lakukan adalah senantiasa meluruskan hati.
Ketika kita melihat seseorang menceritakan begitu banyaknya kebaikan yang ia lakukan, cobalah untuk tidak mengutamakan prasangka. Karena apa yang ada di dalam hatinya sungguh tidak akan pernah kita jangkau oleh penglihatan mata kita.
Sebaliknya, saat kita berusaha menutupi setiap amal ibadah kita, jangan pernah berhenti untuk mengevaluasi kedalaman hati kita. Apakah sungguh karena ikhlas, atau justru terbersit rasa 'ujub - bangga pada diri sendiri, mengganggap diri kita telah mampu melakukan amalan secara sembunyi yang kita yakin pasti terjaga keikhlasannya.
Tak ada yang lebih baik dari keduanya, entah menyembunyikan atau pun menampakkan amalan, melainkan yang terjaga keikhlasan di dalam hatinya.
Namun yang perlu kita ketahui, ikhlas juga tidak semata harus kita hadirkan di dalam niat, karena ia merupakan sebuah proses yang dimulai dari niat, waktu pelaksanaan sebuah ibadah atau amalan, bahkan hingga jauh setelah amalan tersebut selesai dilakukan.
Boleh jadi niat kita lurus, namun tergelincir ketika sebuah amalan mulai dilihat dan dielu-elukan oleh banyak orang.
Karenanya, tidak ada batas akhir atau expired date untuk sebuah keiklhasan. Ia harus senantiasa dijaga sepanjang hayat, selama kita masih berpotensi untuk tergoda oleh kepentingan duniawi.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,
وَ رَوَى اْلبُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ: لَوْ اَنَّ اَحَدُكُمْ يَعْمَلُ فىِ
صَخْرَةٍ صَمَّاءَ لَيْسَ لَهَا بَابٌ وَ لاَ كَوَّةٌ لَخَرَجَ عَمَلُهُ
كَائِنًا مَا كَانَ. متفق عليه
“Seandainya salah seorang di antara kamu melakukan suatu perbuatan di dalam gua yang tidak ada pintu dan lubangnya, maka amal itu tetap akan bisa keluar (tetap dicatat oleh Allah) menurut keadaannya”. [HR. Bukhari dan Muslim]
Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang senantiasa menjaga kelurusan hati, serta tiada berhenti untuk melakukan evaluasi ke dalam diri.
Wallahu'alam
Regards,
W A
ikhlas itu seperti surat al ikhlas, tidak ada kata ikhlas di dalamnya...
BalasHapussyukron ukhty. artikel ini bermanfaat sekali, ana jadi tau apa itu ikhlas, semoga artikel ini bisa menjadi amal jariyah untuk ukhty
BalasHapus