"Sya'tisy syajaaru nadqal hajaru, syuqqal qamaru bi isyaratihi...”
Lantunan merdu Zamzam yang
menjadi nada dering hp GW 300 ku memecah keterdiaman. Biasanya suara remaja 14 tahun yang juga qari
internasional itu syahdu memanjakan gendang telinga, tapi tidak kali ini. Pasalnya, sepasang mata yang terarah dari
seberang tempatku duduk menjelma belati yang menikam nyali. Dering tadi pastilah mencuri
perhatiannya.
Mobil
jurusan caheum cileunyi meluncur lancar, karena jam macet memang telah berlalu. Kuperkirakan saat ini telah
melampaui pukul sepuluh. Di segala sisi hanya sesekali kendaraan menderu
dalam kecepatan tinggi. Parahnya, jok
belakang kendaraan berplat kuning ini hanya menyisakan dua penumpang, aku dan
seorang lelaki muda yang kini menatap penuh selidik. Ah, menyesal terlalu menunda
kepulangan, padahal
pertandingan volly
persahabatan telah bubar sejak pukul lima sore tadi.
Sebelumnya, arakan awan yang mengiringi benaman matahari tak berhasil mengangkat alam sadarku untuk bergegas. Usai menuntaskan kewajiban dalam sujud senja di mushala sekolah, Astri berniat mentraktrir baso bakar. Traktiran mana coba yang sanggup kutolak? Saat detak jam melesat dari angka sembilan barulah jiwa tersentak. Arah Dago ke Cinunuk berkendaraan angkutan umum pasti sangat melelahkan, dengan raga yang menyisakan sedikit saja energi.
“Sya'tisy syajaru nadqal hajaru, syuqqal qamaru bi isyaratihi..."
Lamunanku terpotong. Kembali
ringtone hp berteriak, menuntut jawaban.
Tangan dan mataku otomatis kompak berbagi tugas. Merogoh hp, sambil jeli
mengawasi.
"Masih di
Ujungberung." Setelah obrolan
singkat diakhiri, cepat aku menyimpan hp hingga bagian paling dalam.
***
“Hayu
atuh Din temenin belanja, tar dianterin deh pulangnya.” Disya yang meski sama-sama masih menjadi
penghuni kelas XI telah dipercaya mengendarai mobil sendiri. Maklumlah, orang tuanya memang tajir.
“Ga
ah Ca, bentar lagi aku pulang. Belanja
sama kamu mah sok lama.” Sebuah penolakan
yang kini kusesali, karena nyatanya justru aku yang hingga tengah malam masih
menumpang dalam angkot, berbalut seragam putih abu-abu yang tak jua berganti.
Pikiranku
berontak saat diajak berhenti dari perandaian.
Seandainya tadi ikut Disya, seandainya tidak terlalu larut dalam obrolan
di warung baso bakar, seandainya tadi menyempatkan untuk menyembunyikan dering
hp sebelum naik angkot. Tiba-tiba petuah
mama mengiang, mengejek perlawananku selama ini.
“Nadin, kamu teh perempuan. Pamali anak gadis malem-malem keluyuran di
luar. Abis dari sekolah teh langsung pulang
atuh, jangan ke mana-mana dulu.”
Kini
aku harus menanggung akibat dari kepala batu, duduk dalam posisi serba tak
nyaman karena didera beragam prasangka.
Aku mencuri
pandang ke sosok di depanku. Tampangnya
lumayan dan berpendidikan. Tapi penampilan tak selalu bergaransi. Bisa saja dia maling, rampok, atau …
pemerkosa! Mendadak mataku berkunang, menatap peristiwa
dalam dunia khayal yang kuciptakan sendiri.
Kelam
yang sempurna mengantarkan angin justru kian deras mengucurkan keringat, berdesakan dari sela-sela
kerudung yang kukenakan.
***
“Ehhm….” Dehemannya
membuatku mengeratkan cengkaraman pada tali tas yang kubawa. Pelan aku menuju kursi dekat pintu. Tapi ia turut bergeser, mengambil tempat
hingga tepat di seberangku, di belakang supir.
“Dari
sekolah mana,
Dek?” Untuk pertama kalinya sapaan itu
keluar.
“SMUNSA
Bandung,
Kak.” Kulirik pak supir masih tenang
mengemudi. Tapi, jangan-jangan mereka
bersekongkol.
“Kok
baru pulang? Ada acara ya di sekolahnya?”
“Iya,
tanding persahabatan antar kelas.”
“O,
rame atuh ya? Dek Nadin ikutan tanding
apa?” Duh, pasti ia membaca label nama
pada seragamku, yang jelas memajang tulisan “Nadin Karimah”.
“Saya
ga ikutan,
Kak. Tadi nonton aja. Tanding putri baru lusa.” Nadin, Nadin, kenapa juga pake’ ngobrol sok
akrab. Ga takut apa dihipnotis. Gerutuku dalam hati.
“O
gitu? Sekarang pulangnya ke mana?” Posisinya menyeberang, merapat tepat di
sampingku. Sementara
itu mulutnya tak henti dari basa-basi.
Merasa
tak nyaman, cepat aku meminta pak supir menepi, menghentikan laju kendaraan di
tengah perjalanan yang memuat beberapa pertokoan. Bukannya berhenti, supir itu kian menginjak
gas. Aku tersentak saat lelaki di sampingku
menyeringai sambil berusaha meraih tas yang sekuat tenaga masih kupertahankan.
“Tancap
terus Pak, ngebut! Jangan kasih
kesempatan kabur!” Tas milikku akhirnya
beralih posisi, meninggalkan pertahananku yang tak lagi mampu menjaganya. Mataku menerobos sisi luar pintu.
Kecepatan mobil makin gila, tak memberikan peluang bagiku untuk melompat. Ngeri membayangkan jika aku memaksakan diri
terpental ke jalanan.
“Dek
Nadin manis sekali ya. Kelas berapa sih
kalo boleh tau?” Setelah menjarah benda
berharga dari dalam tas, tangannya kini membelai pipiku. Posisiku kian terjepit. Bergeser sedikit saja dapat dipastikan akan
membuatku terjungkal ke luar.
“Ditanya kok diem
aja? Mau Kakak anterin sampe’ rumah?” Wajahnya
mendekat, menyisakan sekian senti saja dari wajahku. Kurasakan mataku kini berkabut.
“Kebanyakan dari kejahatan berlaku di malam hari. Sangat rawan, terutama bagi wanita.” Kata-kata
Teh Endah, kakak mentorku di sekolah mengiang.
“Itulah mengapa sebaiknya wanita jangan
keluyuran malem-malem. Kalo’pun harus
keluar, jangan sendirian. Lebih bagus kalo’
ditemenin sama muhrimnya.”
Ya Allah, aku
mengaku salah. Tapi sudilah kiranya
Engkau membebaskan aku dari cengkraman manusia laknat ini. Aku kalut, sementara
tangan terus berjuang menepis sentuhan kian liar yang membuatku muak.
“Langsung aja
bro! Ga perlu ditanya!” Pak supir memajukan kendaraan dalam laju yang
tak normal. Mobil itu sebentar oleng ke
kiri lalu ke kanan, sesuka hatinya.
Aku mengupayakan
sisa tenaga. Berhasil, ia terjatuh
hingga sudut belakang. Tapi celaka, sebentuk
senyum kini lenyap dari parasnya, melempar ekspresi bengis dan mengerikan. Kulirik kembali arah jalan yang kian mengecilkan
keberanian. Tak ada pilihan, aku harus
melompat meski pulang tinggal jasad.
Mati demi mempertahankan kehormatan jauh lebih mulia daripada harga diri
harus tercabik.
“Allahu akbar!!” Teriakanku menyentuh wilayah kaget dua lelaki
itu. Mobil berhenti tak beraturan. Cepat supir itu turun, mendapati tubuhku yang
bersimbah darah.
***
“Neng!” Satu suara membawaku pulang ke dunia
nyata. Tersentak aku menyadari jasadku
masih menempel pada jok belakang.
“Eh,
iya Pak!” Setengah berteriak aku
menjawab sapaan supir.
“Si
Eneng, ditanya malah diem aja. Mau turun
di mana Neng?”
“Hmmh,
di cinunuk Pak.” Kutatap lelaki di hadapanku mengulum senyum.
MasyaAllah,
hanya lamunan. Aku bersyukur, meski kelegaan
tak seutuhnya menjadi milikku. Belakangan
berita memang marak menayangkan kasus pemerkosaan di dalam angkot. Dan aku kini pada posisi yang sangat tidak
menguntungkan.
Perlahan
aku mendekati pintu. Meski sekuat tenaga
kukerahkan pikiran ke arah positif, tetap saja praduga tak ingin beranjak. Kuperhatikan posisi kini telah melewati
bundaran cibiru. “Syukurlah, sebentar
lagi.” Batinku. Namun tiba-tiba lelaki itu bergeser, hingga
tepat duduk pada kursi di belakang supir.
“Kiri Pak.” Sebelum terlambat, pikiranku memaksa untuk
bertindak.
“Lho,
katanya di cinunuk Neng. Ini masih
cibiru.” Mobil tak juga berhenti.
“Iya
Pak, di sini aja.” Kian ciut nyali
rasanya, membayangkan praduga yang semakin berarak sempurna. Untunglah kemudian mobil menepi dan berhenti.
Secepat kilat aku melesat keluar.
Tapi rasanya bagai
tersengat listrik. Lelaki itu, lelaki
yang kuhindari hingga rela turun jauh dari tempat seharusnya, ternyata turun di
tempat yang sama. Meski samar masih
dapat kuyakinkan bahwa tatapannya mengarah padaku. Astaghfirullah.
***
Gerbang
Perumahan Permai Hijau masih sekitar 75 meter ke depan. Setelah menyeberang, aku memacu langkah sembari mengeluarkan hp untuk
minta dijemput. Malangnya, pulsaku minim
untuk membuat panggilan. Sambil
melangkah aku memainkan jemari, mengetikkan kata-kata paling singkat.
Telingaku
menangkap suara langkah yang juga tergesa dari arah belakang. Setengah berlari aku menyusuri jalanan sepi
itu, sambil mulut tak henti berkomat-kamit.
Layar hp menayangkan waktu pada angka 22.54. Langkah di belakangku kian merapat, hingga
hembusan angin dari gerakannya bahkan sanggup kurasakan.
“Assalamu’alaikum, Dek.” Tunggu, ia
mengucapkan salam? Tidak, kini preman
sekalipun seringkali mengucapkan salam saat menggoda gadis berkerudung.
“Punten
Dek. Boleh nanya ga?” Lelaki itu kian mendekat hingga hampir
mensejajari posisiku. Jelas sekali ia
kepayahan menyeimbangi langkahku.
“Iya?” Kujawab sapanya, meski mata dan kaki tetap
konsisten dalam tugasnya.
“Tadi
itu, suara hpnya. Ehmh, maksudnya itu
tadi lagu, eh salah, shalawatannya Zamzam ya?”
Belepotan bahasanya. Entah
bingung, atau karena terlalu lelah.
Reflek
kakiku terdiam, mengacuhkan perintah akal yang meminta terus berlari. Kini penasaran berhasil membelokkan
tatapanku. Aku memandang wajahnya yang berbalur
keringat. Nafasnya tersengal, namun
sebentuk senyum berusaha ia edarkan.
“Punten,
tadi saya denger ringtonenya. Saya tau,
maksudnya saya pernah denger lagu, eh shalawat itu.
Suaranya juga hafal. Ehmh
maksudnya, suaranya bagus, mirip suara Zamzam.
Bener tadi itu suara Zamzam?” Ia
mengulang dengan kalimat lebih panjang, meski masih saja belepotan.
“Ehmh,
kalo boleh tau, dapet darimana ringtonenya?
Nyari-nyari di internet kok ga nemu ya? Lagu, eh, CDnya aja kan ga
dijual bebas. Kok kamu dapet, maksudnya,
bisa punya ringtonenya? Saya suka banget
sama suara, eh, shalawat versi Zamzam.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih