28 Maret 2012

ROKOK DAN KAOS BOLA

             Rokok dan bola adalah dua makhluk tak terpisahkan dari pribadi Ayah.  Ibarat api dan asap, air dan basah, telah menyatu sejak kemunculannya pertama di muka bumi.  Pekerjaan yang sehari-hari hanya menjaga toko klontong milik pribadi tentu semakin mengakrabkan Ayah dengan dua hobinya itu.  Ia bahkan sengaja membeli satu TV bekas dari Mang Rusli untuk ditempatkan di sudut toko, agar saat pertandingan bola ia tetap bisa menjaga toko sambil leluasa menyaksikan jalannya pertunjukkan.  Dan sudah pasti, teman paling setia yang tak akan ketinggalan adalah batang rokok. 

Maniaknya Ayah terhadap bola sudah mencapai stadium akhir.  Dulu sewaktu timnas Indonesia bertanding melawan kesebelasan Malaysia di Gelora Bung Karno, Ayah rela mengantri tiket yang meski kelas paling murah tetap saja bagiku harganya selangit.  Tidur di sisi luar stadion bersama sesama maniak yang datang dari berbagai daerah pun sanggup dilakoni.

"Atas nama nasionalisme.  Harus cinta negeri, dong!"  Kilahnya saat Emak menyampaikan protes atas jatah uang yang terpaksa disunat demi membeli tiket.  Aku dan Emak hanya bisa geleng-geleng kepala.

            Rokok, seperti juga halnya bola, telah menempati peringkat spesial dalam kamus kehidupan Ayah.  Sehari bisa tuntas dua bungkus seorang diri.  Mengenai ini pun Emak bukannya tak pernah mengomel.  Sering malah.  Kamar mandi bau rokok, abu berserakan memenuhi karpet ruang tamu, hingga sarung bantal yang bolong akibat sundutan api.  Tapi bagi Ayah, ocehan Emak masuk telinga kanan keluar telinga kiri.  Tak sedikit pun mempengaruhi rasa cintanya pada rokok. 

Pernah suatu saat Emak kesal lalu membuang rokok-rokok Ayah.  Tak disangka, Ayah lantas marah besar.

"Itu bukan rokok murahan.  Mahal tau?!"  Bentaknya dengan nada tinggi.

"Sudah tau mahal, mending buat makan!"  Balas Emak tak kalah sengit.

"Lebih baik aku tidak makan, daripada harus puasa dari rokok!"  Sambil berkata begitu Ayah pergi, setelah sempat mencomot bungkusan rokok baru di warung.  Hingga dua hari Ayah tak pulang waktu itu.  Setelahnya, aku tak lagi pernah melihat Emak mengomel atas rokok Ayah.  Mungkin tak hendak menyulut kembali api pertengkaran.

***

            "Din, ada lelang kaos Timnas!"  Mang Sholeh, langganan toko Ayah yang juga maniak bola berteriak sambil berlari-lari kecil.

            "Wah, di mana?! Aku harus dapet satu."  Ayah menimpali sembari mendekat ke sumber suara.

            "Minggu depan.  Aku juga mau.  Yuk ah, kita ke sana, di stadion siliwangi."  Dua lelaki itu pun sibuk berembuk, berbincang tentang segala persiapan untuk mendapatkan salah-satu kaos pemain idola yang akan dilelang.

***

            "Pasti mahal tuh, kaos pemain timnas."  Emak menyindir saat sedang berkumpul menyaksikan siaran berita nasional.

            "Ah, kalo yang nggak ngerti bola nggak akan faham.  Harga kaos itu belum seberapa dibandingkan nilai sejarahnya."  Setelah menyeruput kopi, Ayah menyela kalem.

            "Sejarah apa?  Kemaren aja lawan Malaysia kalah."  Kulihat Emak masih berjuang mengajukan gugatan keberatan atas rencana Ayah.  Seperti halnya aku, Emak pun tak habis pikir jika rupiah demikian mudah dihamburkan untuk hal yang kurang berfaedah, setidaknya menurut kami.

            "Kalah menang dalam tanding itu biasa.  Yang penting semangat nasionalismenya.  Lihat aja entar di pertandingan selanjutnya.  Kita balas kekalahan kemaren."

            "Emang Ayah dapet apa sih?  Kalaupun mereka menang, dapet sepeser rupiah juga nggak."  Hitung-hitungan untung rugi Emak keluar juga akhirnya.  Maklumlah, dulu sebelum menikah Emak pernah bekerja sebagai kasir di sebuah minimarket.  Pasti sangat perhitungan, tak mau rugi.

            "Tidak selalu harus dinilai dengan rupiah.  Yang penting kita dukung.  Siapa lagi yang mendukung pemain kita kalau bukan rakyatnya sendiri."  Ayah beralih dari cangkir kopi menuju piring bermuatan singkong goreng.  Dicomotnya satu, kemudian berjalan ke arah teras.  Sepertinya sengaja menghindar, tak ingin ribut mempermasalahkan kaos para pemain timnas itu.

***

            Hari yang dinanti tiba.  Tampak puas wajah lelaki paruh baya itu saat memarkir sepeda motor di halaman depan.  Dari raut mukanya, aku yakin Ayah pasti berhasil memboyong satu kaos idaman.  Entahlah dengan harga berapa.

            "Dapet, Yah?"  Meski tak begitu tertarik, tapi penasaran juga rasanya menunggu kepulangan Ayah.  Di depan pintu aku dan Emak sudah menanti seakan sedang menyambut panglima pulang berperang.  Emak tak kalah penasaran.  Meski aku tau, rasa penasaran Emak hanya berkisar pada masalah rupiah yang harus Ayah lepaskan.

            "Alhamdulillah, dapet."  Setelah mengunci motor Ayah bergegas mengeluarkan satu benda berwarna merah yang masih terbungkus plastik bening.  Benda itu yang semalam bahkan sampai membuat Ayah mengingau.

"Hebat!  Nggak semua orang punya kesempatan.  Lihat, nomor punggung 20!"  Tegasnya bangga, sembari membentangkan kaos itu dihadapan aku dan Emak.

"Berapa harganya?"  Emak langsung ke pertanyaan utama.

"Mahal memang.  Tapi toh hasilnya disumbangkan untuk amal."  Ayah enggan menyebutkan nominal yang ia keluarkan.  Mungkin tak ingin ribut.  Aku yakin, pasti tak sedikit rupiah yang harus dirogoh dari dompetnya.

"Untuk amal?  Amal apa?"  Ragu kalimat Emak.

"Acara dalam rangka memerangi HIV/AIDS."  Seperti tak peduli, Ayah terus saja memasang senyum seraya memandangi benda idaman yang kini ada ditangannya.

"Ah, harusnya biarkan orang-orang kaya itu yang nyumbang.  Ayah kaya' yang punya banyak duit saja.  Bilang saja memang tergila-gila sama kaos itu."  Sungut Emak sambil berlalu.  Ayah melirik sekilas, namun kembali menatatap kaos merah itu.

"Lihat, Rin.  Keren kan?  Nomor 20 ini nomor punggungnya BePe.  Tau kan?"  Dengan menggebu Ayah beralih tatap ke arahku.  Seakan ia ingin menegaskan betapa istimewanya benda yang kini menjadi miliknya.

"O, iya.  Bambang Pamungkas ya?"  Aku menyebutkan satu nama yang memang cukup dikenal, sekalipun oleh orang yang jarang nonton bola seperti aku.

"Alhamdulillah."  Ayah terus bergumam sambil melangkah menuju kamar.  Gema bahagia Ayah tak kunjung reda.  Aku yakin jika memungkinkan Ayah pasti akan melompat-lompat saking girangnya.

***

            Malas aku membuka mata, melawan arus dingin yang menusuk tulang.  Kulirik jarum jam baru mengarah ke angka enam.  Guyuran hujan sedari malam kian membuatku mengkerut dalam selimut, setelah sebelumnya tidurku sempat dijeda karena harus menunaikan shalat subuh.

            "Darti, lihat kaos timnas aku nggak?!"  Teriakan Ayah dari kamar seberang sontak membuat mataku sempurna terbuka.  Kaget.

            “Ya nggak tau.  Bukannya kemaren Ayah sendiri yang simpan."  Emak ikut teriak dari arah dapur.  Mau tak mau aku bangkit.  Rasa kaget barusan berhasil mengusir kantuk dan malasku.

            "Tapi nggak ada.  Kali aja dipindahin ke mana gitu?"  Aksi sahut-sahutan suara masih berlangsung.  Bergegas aku menuju ruang tengah.  Tampak Ayah sedang memasang wajah kesal.

            "Siapa juga yang berani nyentuh kaos kebanggaan Ayah.  Mungkin keselip."  Kulihat Emak datang tergopoh sambil memegang sendok penggorengan.

            "Rin, kamu lihat?"  Begitu dilihatnya aku menampakkan diri, Ayah beralih tanya kepadaku.

            "Nggak, Yah.  Bukannya dari kemaren di kamar?"

            Ayah membalik badan, masuk kembali ke dalam kamar.  Ibu melirik sambil mengangkat bahu, sebagai pertanda untuk membiarkan saja Ayah mencari benda berharganya.

            "Hahaha!"  Kurang dari lima menit kemudian kudengar tawa Ayah.  Aku yang hendak melangkah ke kamar mandi mendadak terhenti, penasaran.

            "Lupa.  Semalem dibawa tidur.  Ada di bawah selimut."  Serunya dengan suara riang.  Dibentangkannya kembali kaos itu bangga.  Huff, tak bisa kubayangkan bila kaos itu benar-benar hilang.  Pasti muka masam bercampur emosi tak lepas dari hari-hari Ayah.

            "Aku ke rumah Pak Dahlan dulu!"  Teriaknya sambil mendekati pintu.  "Kemaren katanya Pak Dahlan pengen liat juga."  Tak lama kemudian Ayah menghilang, sambil membawa kaos merah bernomor punggung 20 itu.

            Sejak sore sepulang dari stadion Ayah memang tak habis memamerkan kaos kesayangannya.  Sesama pecinta bola akan berdecak kagum, sekaligus iri.  Satu persatu mereka meraba sambil mencium benda itu.

***

            Kesebelasan Indonesia kembali beraksi.  Sejak tadi Ayah telah memonopoli televisi.  Emak yang biasa tak ketinggalan menyaksikan sinetron 'Dara Kembar' terpaksa mengungsi ke tetangga.  Sambil menyelesaikan tugas Biologi, aku duduk di samping Ayah.  Agar menambah semangat nasionalisme, Ayah bahkan membentangkan kaos kesebelasan kebanggaannya di atas kursi.

            Pertandingan belum lagi dimulai, baru akan tayang sekitar satu jam ke depan.  Tapi demi tak ingin terlupa, sejak sore Ayah tak kunjung beranjak dari ruang tengah kecuali untuk shalat dan ke kamar kecil.  Sempat kulirik Ayah menguap, menahan kantuk berkali-kali.  Tadi subuh Ayah memang melakukan perjalanan ke kota untuk membeli berbagai persediaan barang toko.  Iseng kuhitung bilangan puntung rokok pada asbak di atas meja.  Lima biji.  Dan kini pun Ayah tengah menghisap batang rokok keenam.

            “Rin, kamu perhatikan TV yah.  Kalau pertandingan dimulai, bangunkan Ayah.”  Tampaknya Ayah tak sanggup lagi menahan kantuk.  Mungkin waktu satu jam lumayan untuk dimanfaatkan.

            “Iya, Yah.”  Aku menjawab patuh.

            “Awas, jangan sampai lewat.”  Pesannya lagi sembari sedikit memberikan penekanan.

            Tiga puluh menit berlalu.  Aku yang telah berhasil menuntaskan tugas beranjak menuju kamar.  “Masih ada waktu setengah jam sebelum membangunkan Ayah,” pikirku.  Sedikit ku keraskan volume televisi hingga dapat terdengar menembus dinding kamar.  Aku tak mau mengambil risiko terlambat membangunkan Ayah, karena bisa-bisa pekak telingaku mendengar ocehannya.

            Sambil membereskan buku pelajaran untuk pagi esok, mataku tak henti mengawasi jarum jam hello kitty yang bertengger di samping tempat tidur.  Menit demi menit demikian kuperhitungkan dengan matang.  Tepat limat menit menuju pukul 19.00 aku bersiap menuju ruang tengah, berniat hendak membangungkan Ayah.  Kudekati sisi sofa dari arah belakang yang mendadak dalam pandanganku menjadi dikerubuti asap, mengepul dan berbau hangus.

            “Astaghfirullah!!  Ayah! Bangun, Yah.!”  Dalam kaget luar biasa aku berteriak, mencoba membawa Ayah ke alam sadarnya.

            “Apa?! Ada apa?  Ya Allah!  Aduh, ambil air! Cepat.”  Begitu pulih kesadarannya, Ayah otomatis berteriak panik.

            Secepat kilat aku berlari mengambil segayung air dari kamar mandi, dan mengguyur bagian yang mengepulkan asap pekat.  Berhasil, api padam dan asap pun perlahan menipis.

            “Alhamdulillah.”  Lirihku sembari menahan tubuh yang bergetar, masih menahan kaget dan takut luar biasa.

            Saat asap benar-benar lenyap, mataku dapat melihat dengan jelas sebuah benda yang basah dan sedikit hitam dikarenakan gosong.  Bagian benda yang selamat masih gagah menampakkan warna aslinya, merah.  Takut-takut kuarahkan tatapan ke wajah Ayah, yang aku yakin kini sudah sadar sepenuhnya.

            “Astaga! Ya Allah, kaos timnasku.  Kaos BePe.!”  Diangkatnya kaos yang kini bolong tepat pada bagian tengah.  Prihatin sekali kuperhatikan raut mukanya.

            Tepat saat bentangan kaos itu terpajang demikian jelas, Emak yang ternyata telah menuntaskan tontonannya pun pulang.

            “Ya ampun, kaosnya kenapa tuh?”  Bingung Emak karena tak memahami kronologis peristiwa yang cukup menghebohkan tadi.

            “Hangus?  Kok bisa?”  Semakin mendekat posisi Emak, memperhatikan kondisi kaos malang yang tak lepas dari tangan Ayah. 

            Dengan lemas Ayah melirik puntung rokok yang baru habis separuh, tergeletak basah di bawah sofa.  Kesal dapat kutangkap dari rona muka Ayah, seperti hendak menumpahkan emosi.  Tapi tak sepatah pun keluar dari bibirnya.  Pastilah Ayah bingung, siapakah kira-kira yang pantas untuk ia persalahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih

Memeluk Kenangan

Saat aku mencoba melupakan namun gagal, Saat itulah aku memutuskan untuk berhenti melupakan. Berdamai. Merangkai kisah dalam ...