Rokok dan bola adalah dua makhluk tak terpisahkan dari pribadi Ayah. Ibarat api dan asap, air dan basah, telah menyatu sejak kemunculannya pertama di muka bumi. Pekerjaan yang sehari-hari hanya menjaga toko klontong milik pribadi tentu semakin mengakrabkan Ayah dengan dua hobinya itu. Ia bahkan sengaja membeli satu TV bekas dari Mang Rusli untuk ditempatkan di sudut toko, agar saat pertandingan bola ia tetap bisa menjaga toko sambil leluasa menyaksikan jalannya pertunjukkan. Dan sudah pasti, teman paling setia yang tak akan ketinggalan adalah batang rokok.
Maniaknya Ayah terhadap bola sudah
mencapai stadium akhir. Dulu sewaktu
timnas Indonesia bertanding melawan kesebelasan Malaysia di Gelora Bung Karno,
Ayah rela mengantri tiket yang meski kelas paling murah tetap saja bagiku harganya
selangit. Tidur di sisi luar stadion
bersama sesama maniak yang datang dari berbagai daerah pun sanggup dilakoni.
"Atas nama nasionalisme. Harus cinta negeri, dong!" Kilahnya saat Emak menyampaikan protes atas
jatah uang yang terpaksa disunat demi membeli tiket. Aku dan Emak hanya bisa geleng-geleng kepala.
Rokok, seperti juga halnya bola, telah menempati peringkat spesial dalam kamus kehidupan Ayah. Sehari bisa tuntas dua bungkus seorang diri. Mengenai ini pun Emak bukannya tak pernah mengomel. Sering malah. Kamar mandi bau rokok, abu berserakan memenuhi karpet ruang tamu, hingga sarung bantal yang bolong akibat sundutan api. Tapi bagi Ayah, ocehan Emak masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tak sedikit pun mempengaruhi rasa cintanya pada rokok.
Pernah suatu saat Emak kesal lalu membuang
rokok-rokok Ayah. Tak disangka, Ayah
lantas marah besar.
"Itu bukan rokok murahan. Mahal tau?!" Bentaknya dengan nada tinggi.
"Sudah tau mahal, mending buat
makan!" Balas Emak tak kalah
sengit.
"Lebih baik aku tidak makan, daripada
harus puasa dari rokok!" Sambil
berkata begitu Ayah pergi, setelah sempat mencomot bungkusan rokok baru di
warung. Hingga dua hari Ayah tak pulang
waktu itu. Setelahnya, aku tak lagi
pernah melihat Emak mengomel atas rokok Ayah.
Mungkin tak hendak menyulut kembali api pertengkaran.
***
"Din, ada lelang kaos Timnas!" Mang Sholeh, langganan toko Ayah yang juga
maniak bola berteriak sambil berlari-lari kecil.
"Wah, di mana?! Aku harus dapet
satu." Ayah menimpali sembari
mendekat ke sumber suara.
"Minggu depan. Aku juga mau.
Yuk ah, kita ke sana, di stadion siliwangi." Dua lelaki itu pun sibuk berembuk, berbincang
tentang segala persiapan untuk mendapatkan salah-satu kaos pemain idola yang
akan dilelang.
***
"Pasti mahal tuh, kaos pemain
timnas." Emak menyindir saat sedang
berkumpul menyaksikan siaran berita nasional.
"Ah, kalo yang nggak ngerti
bola nggak akan faham. Harga kaos itu
belum seberapa dibandingkan nilai sejarahnya." Setelah menyeruput kopi, Ayah menyela kalem.
"Sejarah apa? Kemaren aja lawan Malaysia kalah." Kulihat Emak masih berjuang mengajukan
gugatan keberatan atas rencana Ayah.
Seperti halnya aku, Emak pun tak habis pikir jika rupiah demikian mudah
dihamburkan untuk hal yang kurang berfaedah, setidaknya menurut kami.
"Kalah menang dalam tanding itu
biasa. Yang penting semangat nasionalismenya. Lihat aja entar di pertandingan selanjutnya. Kita balas kekalahan kemaren."
"Emang Ayah dapet apa sih? Kalaupun mereka menang, dapet sepeser rupiah
juga nggak." Hitung-hitungan untung
rugi Emak keluar juga akhirnya.
Maklumlah, dulu sebelum menikah Emak pernah bekerja sebagai kasir di
sebuah minimarket. Pasti sangat
perhitungan, tak mau rugi.
"Tidak selalu harus dinilai
dengan rupiah. Yang penting kita
dukung. Siapa lagi yang mendukung pemain
kita kalau bukan rakyatnya sendiri."
Ayah beralih dari cangkir kopi menuju piring bermuatan singkong
goreng. Dicomotnya satu, kemudian
berjalan ke arah teras. Sepertinya
sengaja menghindar, tak ingin ribut mempermasalahkan kaos para pemain timnas
itu.
***
Hari yang dinanti tiba. Tampak puas wajah lelaki paruh baya itu saat
memarkir sepeda motor di halaman depan.
Dari raut mukanya, aku yakin Ayah pasti berhasil memboyong satu kaos
idaman. Entahlah dengan harga berapa.
"Dapet, Yah?" Meski tak begitu tertarik, tapi penasaran
juga rasanya menunggu kepulangan Ayah.
Di depan pintu aku dan Emak sudah menanti seakan sedang menyambut
panglima pulang berperang. Emak tak
kalah penasaran. Meski aku tau, rasa
penasaran Emak hanya berkisar pada masalah rupiah yang harus Ayah lepaskan.
"Alhamdulillah,
dapet." Setelah mengunci motor Ayah
bergegas mengeluarkan satu benda berwarna merah yang masih terbungkus plastik
bening. Benda itu yang semalam bahkan
sampai membuat Ayah mengingau.
"Hebat! Nggak semua orang punya kesempatan. Lihat, nomor punggung 20!" Tegasnya bangga, sembari membentangkan kaos
itu dihadapan aku dan Emak.
"Berapa harganya?" Emak langsung ke pertanyaan utama.
"Mahal memang. Tapi toh hasilnya disumbangkan untuk
amal." Ayah enggan menyebutkan
nominal yang ia keluarkan. Mungkin tak
ingin ribut. Aku yakin, pasti tak
sedikit rupiah yang harus dirogoh dari dompetnya.
"Untuk amal? Amal apa?" Ragu kalimat Emak.
"Acara dalam rangka memerangi
HIV/AIDS." Seperti tak peduli, Ayah
terus saja memasang senyum seraya memandangi benda idaman yang kini ada
ditangannya.
"Ah, harusnya biarkan orang-orang
kaya itu yang nyumbang. Ayah kaya' yang
punya banyak duit saja. Bilang saja
memang tergila-gila sama kaos itu."
Sungut Emak sambil berlalu. Ayah
melirik sekilas, namun kembali menatatap kaos merah itu.
"Lihat, Rin. Keren kan?
Nomor 20 ini nomor punggungnya BePe.
Tau kan?" Dengan menggebu Ayah
beralih tatap ke arahku. Seakan ia ingin
menegaskan betapa istimewanya benda yang kini menjadi miliknya.
"O, iya. Bambang Pamungkas ya?" Aku menyebutkan satu nama yang memang cukup
dikenal, sekalipun oleh orang yang jarang nonton bola seperti aku.
"Alhamdulillah." Ayah terus bergumam sambil melangkah menuju
kamar. Gema bahagia Ayah tak kunjung
reda. Aku yakin jika memungkinkan Ayah
pasti akan melompat-lompat saking girangnya.
***
Malas aku membuka mata, melawan arus
dingin yang menusuk tulang. Kulirik
jarum jam baru mengarah ke angka enam.
Guyuran hujan sedari malam kian membuatku mengkerut dalam selimut,
setelah sebelumnya tidurku sempat dijeda karena harus menunaikan shalat subuh.
"Darti, lihat kaos timnas aku
nggak?!" Teriakan Ayah dari kamar
seberang sontak membuat mataku sempurna terbuka. Kaget.
“Ya nggak tau. Bukannya kemaren Ayah sendiri yang
simpan." Emak ikut teriak dari arah
dapur. Mau tak mau aku bangkit. Rasa kaget barusan berhasil mengusir kantuk
dan malasku.
"Tapi nggak ada. Kali aja dipindahin ke mana gitu?" Aksi sahut-sahutan suara masih
berlangsung. Bergegas aku menuju ruang
tengah. Tampak Ayah sedang memasang wajah
kesal.
"Siapa juga yang berani nyentuh
kaos kebanggaan Ayah. Mungkin
keselip." Kulihat Emak datang
tergopoh sambil memegang sendok penggorengan.
"Rin, kamu lihat?" Begitu dilihatnya aku menampakkan diri, Ayah
beralih tanya kepadaku.
"Nggak, Yah. Bukannya dari kemaren di kamar?"
Ayah membalik badan, masuk kembali
ke dalam kamar. Ibu melirik sambil
mengangkat bahu, sebagai pertanda untuk membiarkan saja Ayah mencari benda
berharganya.
"Hahaha!" Kurang dari lima menit kemudian kudengar tawa
Ayah. Aku yang hendak melangkah ke kamar
mandi mendadak terhenti, penasaran.
"Lupa. Semalem dibawa tidur. Ada di bawah selimut." Serunya dengan suara riang. Dibentangkannya kembali kaos itu bangga. Huff, tak bisa kubayangkan bila kaos itu
benar-benar hilang. Pasti muka masam
bercampur emosi tak lepas dari hari-hari Ayah.
"Aku ke rumah Pak Dahlan
dulu!" Teriaknya sambil mendekati
pintu. "Kemaren katanya Pak Dahlan
pengen liat juga." Tak lama
kemudian Ayah menghilang, sambil membawa kaos merah bernomor punggung 20 itu.
Sejak sore sepulang dari stadion
Ayah memang tak habis memamerkan kaos kesayangannya. Sesama pecinta bola akan berdecak kagum,
sekaligus iri. Satu persatu mereka
meraba sambil mencium benda itu.
***
Kesebelasan Indonesia kembali
beraksi. Sejak tadi Ayah telah
memonopoli televisi. Emak yang biasa tak
ketinggalan menyaksikan sinetron 'Dara Kembar' terpaksa mengungsi ke tetangga. Sambil menyelesaikan tugas Biologi, aku duduk
di samping Ayah. Agar menambah semangat
nasionalisme, Ayah bahkan membentangkan kaos kesebelasan kebanggaannya di atas
kursi.
Pertandingan belum lagi dimulai,
baru akan tayang sekitar satu jam ke depan.
Tapi demi tak ingin terlupa, sejak sore Ayah tak kunjung beranjak dari
ruang tengah kecuali untuk shalat dan ke kamar kecil. Sempat kulirik Ayah menguap, menahan kantuk
berkali-kali. Tadi subuh Ayah memang melakukan
perjalanan ke kota untuk membeli berbagai persediaan barang toko. Iseng kuhitung bilangan puntung rokok pada
asbak di atas meja. Lima biji. Dan kini pun Ayah tengah menghisap batang
rokok keenam.
“Rin, kamu perhatikan TV yah. Kalau pertandingan dimulai, bangunkan
Ayah.” Tampaknya Ayah tak sanggup lagi
menahan kantuk. Mungkin waktu satu jam
lumayan untuk dimanfaatkan.
“Iya, Yah.” Aku menjawab patuh.
“Awas, jangan sampai lewat.” Pesannya lagi sembari sedikit memberikan
penekanan.
Tiga puluh menit berlalu. Aku yang telah berhasil menuntaskan tugas
beranjak menuju kamar. “Masih ada waktu
setengah jam sebelum membangunkan Ayah,” pikirku. Sedikit ku keraskan volume televisi hingga
dapat terdengar menembus dinding kamar.
Aku tak mau mengambil risiko terlambat membangunkan Ayah, karena bisa-bisa
pekak telingaku mendengar ocehannya.
Sambil membereskan buku pelajaran
untuk pagi esok, mataku tak henti mengawasi jarum jam hello kitty yang
bertengger di samping tempat tidur.
Menit demi menit demikian kuperhitungkan dengan matang. Tepat limat menit menuju pukul 19.00 aku
bersiap menuju ruang tengah, berniat hendak membangungkan Ayah. Kudekati sisi sofa dari arah belakang yang
mendadak dalam pandanganku menjadi dikerubuti asap, mengepul dan berbau hangus.
“Astaghfirullah!! Ayah! Bangun, Yah.!” Dalam kaget luar biasa aku berteriak, mencoba
membawa Ayah ke alam sadarnya.
“Apa?! Ada apa? Ya Allah!
Aduh, ambil air! Cepat.” Begitu
pulih kesadarannya, Ayah otomatis berteriak panik.
Secepat kilat aku berlari mengambil
segayung air dari kamar mandi, dan mengguyur bagian yang mengepulkan asap
pekat. Berhasil, api padam dan asap pun
perlahan menipis.
“Alhamdulillah.” Lirihku sembari menahan tubuh yang bergetar,
masih menahan kaget dan takut luar biasa.
Saat asap benar-benar lenyap, mataku
dapat melihat dengan jelas sebuah benda yang basah dan sedikit hitam dikarenakan
gosong. Bagian benda yang selamat masih
gagah menampakkan warna aslinya, merah.
Takut-takut kuarahkan tatapan ke wajah Ayah, yang aku yakin kini sudah
sadar sepenuhnya.
“Astaga! Ya Allah, kaos
timnasku. Kaos BePe.!” Diangkatnya kaos yang kini bolong tepat pada
bagian tengah. Prihatin sekali
kuperhatikan raut mukanya.
Tepat saat bentangan kaos itu
terpajang demikian jelas, Emak yang ternyata telah menuntaskan tontonannya pun
pulang.
“Ya ampun, kaosnya kenapa tuh?” Bingung Emak karena tak memahami kronologis
peristiwa yang cukup menghebohkan tadi.
“Hangus? Kok bisa?”
Semakin mendekat posisi Emak, memperhatikan kondisi kaos malang yang tak
lepas dari tangan Ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih