07 Maret 2012

MAHAR

              Nanar ditatapnya langit-langit kamar.  Pikiran Ammar menerawang, mengenang proses ta’aruf enam bulan lalu.  Kurang dari satu bulan istikharah dilanjutkan dengan temu keluarga dan khitbah.  Namun niat tak ingin berlama-lama akhirnya kandas sudah.  Ah, andai bukan karena mahar yang menurutnya terlalu dipersulit, tentu setidaknya tiga bulan lalu ikrar suci itu telah ia lafadzkan.

            “Tring.”  Teriakan hp membawanya ke alam sadar.  Deretan kata dalam pesan singkat ia telusuri.

            “Akhi, afwan ana hanya sekedar evaluasi mengenai permintaan adik ana.  Sampai saat ini, berapa persen mahar sesuai yang disyaratkan telah sanggup terpenuhi?”  Ridwan, kakak sang calon kembali menagih janji.  Tentulah atas permintaan Khadijah, adik semata wayangnya.

Setelah disimpannya hp tanpa memberi jawaban, Ammar kembali berbaring.  “Tak perlu kujawabpun pastilah mereka tau kondisiku.”  Pikir hatinya.

            “Mengapalah tak sejak awal ia mensyaratkan mahar itu pada biodatanya, jika akhirnya menjadi demikian wajib tak tertawarkan.  Atau minimal saat ta’aruf.  Mengapa juga harus mengiyakan, bahkan memajukan urusan sampai ke khitbah.”  Sesal Ammar, merunut permintaan Khadijah yang baru diterimanya saat menjelang akad.  Entahlah dirinya yang salah karena tak mempersiapkan diri sejak dulu, atau Khadijah yang terlalu berlebihan.

           

               “InsyaAllah untuk kebaikan akh, menurut saya ini bukan mengada-ada.  Saya tak minta banyak harta.  Silahkan akhi pertimbangkan kembali.”  Jawab Khodijah saat Ammar memohon keringanan.

***

            “Bro, jadi kapan akadnya?  Tak baik menjeda terlalu panjang dari proses Khitbah ke akad.”  Tepukan Azhari mengagetkan Ammar yang sedang menyendiri di taman belakang Islamic Center.  Masih dalam diam Ammar bergeser posisi, memberi ruang bagi Azhari untuk duduk di sisinya.

            “Aku liat kau akhir-akhir ini sering melamun.  Ada apa pula rupanya, Mar?”  Tak ada reaksi.  Fokus otak Ammar sepertinya hanya tercurah pada satu urusan, Mahar.  Persayaratan yang hingga kini masih berat untuk disanggupi.

            “Ayolah Mar, kau ceritalah sama aku.  Mana tau kawan kau ni bisa bantu.”  Tak tahan berdiam bagai sedang bermusuhan, Azhari kembali mendesak.

            “Kau tau aku sudah mengkhitbah seorang wanita kan?”  Akhirnya suara yang dinanti mengalir juga.  Anggukan Azhari menandakan ia sedang menanti suara lebih lanjut.

            “Setelah awalnya lancar bak jalan tol, kini hambatan mulai aku hadapi.  Belum lagi berumahtangga, wanita itu sudah minta satu hal.  Pening awak dibuatnya.”  Tatapan Ammar masih lurus, memandang rumpun mawar yang sedang bermekaran.

            “Memang apa yang dia minta?  Rumah, mobil, jalan-jalan ke luar negeri, atau bulan madu ke Paris?”  Ada rona tak percaya pada raut Azhari.  Tak habis pikir ia bahwa seorang shalehah seperti Khadijah ternyata akan mengajukan syarat yang memberatkan.

            “Bukan, Ri.  Bukan soal materi.  Kalau harta kau tau sendirilah.  Bisnis aku sekarang sedang naik daun.  Tak sulit bagi aku untuk membelikan ini itu.”  Berdiri Ammar menuju rumpun mawar yang sedari tadi ditatapnya.

            “So?”  Singkat saja tanggapan Azhari.  Ia mengekor Ammar, mengejar pemuas rasa penasaran dalam benaknya.

            “Awak akui awak pernah nyantri di pesantren selama 4 tahun, semasa lulus MTs dulu.  Tapi otak awak ni belum juga sanggup menyimpan 30 juz Alqur’an secara utuh.  Bukan tak ingin, tapi setidaknya butuh waktu yang tak sebentar untuk itu.  Butuh program.”  Kini ditatapnya sahabat dekatnya itu, seolah memohon pengertian dan pembelaan.

            “Jadi, maksud kau dia minta supaya kau hafal Alqur’an dulu, baru nikah?”  Serius ditatapnya mata Ammar.

            “Kira-kira begitulah.”

            “Berapa juz sudah mampu kau rekam dalam otak kau sekarang?”  Kejar Azhari.

            “Baru 17 juz, itupun masih timbul tenggelam.”  Lemas suara Ammar, seolah baru menyadari bahwa ada hampir separuh bagian lagi yang belum tersentuh.

            “Wei, hebatlah tu.  Akupun ngapalin 5 juz tak tamat-tamat.  Harusnya bersyukur si Khadijah tu.”  Geram tampaknya Azhari, membayangkan kesempurnaan yang dituntut oleh calon istri sahabatnya.

            “Aku sudah minta keringanan.  Janji aku akan menamatkan hingga 30 juz setelah menikah.  Tapi dia bilang ini bukti keseriusan dan komitmen.  Dia beralasan gampanglah bagi aku untuk minta tolong sama ustadz di pesantren dulu.”

            “Tapi harusnya dia sadar, tak mungkin sebulan hafal hampir separuh.  Memang sampai kapan dia mau menunggu?”

            “Tak ada batasan waktu yang jelas.  Tapi hampir tiap minggu aku disms sama abangnya.  Padahal sewaktu khitbahpun dia tak menyebutkan syarat ini.  Hanya ketika menjelang akad aku bertanya tentang mahar apa yang dia pinta, barulah dia bilang.  Seakan tanpa beban, seolah itu hal mudah untuk aku penuhi.  Akadpun terpaksa diundur.”

            “Kau berjuanglah dulu kawan.  Jangan menyerah.  Kalo’ memang jodoh, pastilah ada jalan.”  Azhari merangkul bahu Ammar, menguatkan.  Meski ia sendiri masih tak habis pikir tentang mahar yang harus disanggupi oleh temannya.

***

            Ragu Ammar mematikan deru mesin mobilnya.  Di depan rumah itu kini ia berada.  Rumah yang menyimpan gadis yang diharapkan menjadi calon ibu bagi anaknya kelak.  Wanita shalehah bersahaja yang ia kenal melalui ustadz Karim.  Putri kyai Ahmad, pemilik pesantren tersohor di kotanya.  Hari ini ia kembali hendak bernegosiasi, meminta permakluman.

            “Sudah berapa persen terpenuhi akhi?”  Ridwan langsung pada poin utama.  Tak tega sebenarnya ia, tapi keinginan adiknya pun tak ada yang bisa melawan.

            “Aku sekarang sudah hafal 19 juz, bertambah dua juz dari waktu terakhir ketemu.  Tak mudah untuk sampai ke angka 30, Bang.  Bolehlah kiranya Abang bicara sama Khadijah.  Aku janji beberapa bulan setelah menikah akan aku tamatkan semua.”

            Ridwan diam, berpikir dan menimbang permintaan Ammar.  Berkali sudah ia menyampaikan hal ini pada adiknya, tapi jawabannya hanya satu.  Harus hafal 30 juz, tak kurang.  Entah dengan cara apa lagi ia dapat meyakinkan tentang keseriusan dan semangat calon adik iparnya ini kepada sang adik.

            “Baiklah, ana coba sampaikan lagi.  Nanti ana kabari lewat sms, atau minggu depan kau datanglah lagi kemari.”  Hanya kata itu akhirnya yang mampu ia tawarkan sebagai solusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih

Memeluk Kenangan

Saat aku mencoba melupakan namun gagal, Saat itulah aku memutuskan untuk berhenti melupakan. Berdamai. Merangkai kisah dalam ...