"Bunuh saja aku, sekarang!" Teriakan sia-sia, karena kau pun tak akan pernah peduli. Putus asa? Ya, terlalu lelah dalam siksaan. Terkadang aku muak dengan kelakuanmu yang serupa memanjakan, tapi diam-diam menikam. Awalnya aku masih berbaik sangka. Aku pikir kau memang tak menyadari sikapmu mampu membunuhku, perlahan, sangat menyiksa. Tapi sering kudengar kerabat berusaha menyadarkanmu dengan ragam peringatan. Kau acuh. Oh, baik sangkaku keliru. Kau bukannya tak tahu, tapi tak mau tahu.
"Aku ingin mati sekarang!" Kuulangi lagi. Kau asyik masyuk, sibuk dengan kesenangan
sendiri.
"Percuma. Dia tak akan
peduli." Satu suara
menyadarkan. Kuperhatikan kondisinya tak
jauh beda denganku.
"Kita senasib. Aku pun tertawan. Kita sama-sama menanti ajal." Ucapnya pesismis.
"Siapa kamu?" Aku baru menyadari dalam ketertawanan ini ada makhluk lain. Selama ini aku sibuk memikirkan penderitaan diri, hingga tak lagi memperhatikan sekeliling.
"Tak penting. Yang harus kau sadari, kau bukan satu-satunya
tawanan lelaki itu. Ada aku, juga
beberapa teman lainnya. Sudahlah, terima
nasib saja. Selama ini aku perhatikan
kau sibuk berteriak." Ia tampak
tenang, meski kondisi jasadnya sangat memprihatinkan.
Kucoba melebarkan pandangan dalam kegelapan,
berusaha menangkap sosok-sosok lain yang katanya ada dalam ruangan yang
sama. Terkungkung bersama derita yang
tak jauh berbeda.
"Ya, aku juga merasakan
sakitnya. Lihat tubuhku yang berdarah-darah, kerempeng, sangat
menjijikkan." Satu suara lagi dari sisi
kanan. Setelah mengerjap berkali-kali
barulah kutangkap gambaran tubuhnya. Oh
Tuhan, mengerikan. Mendadak mual aku
menatap merah darah di badannya yang membusuk.
“Tak perlu teriak minta mati. Perlahan tapi pasti habis juga nanti detak
hidupmu, aku, juga kita semua.” Kini
sosok pertama tadi kembali bersuara.
“Justru itu, aku tak mau perlahan. Lebih baik aku mati sekarang, segera. Terlalu menyiksa hidup dalam rayuan kematian
yang menggerayangi setiap saat.”
Bantahku.
Hening, tak ada lagi sanggahan. Mungkin masing-masing telah lelah, atau juga
tak hendak memboroskan tenaga di antara secuil energi yang tersisa.
***
"Arrgh!!" Eranganku berhasil menahan langkahmu pagi
ini. Aku tahu, biasanya jam segini kau
akan bersiap, bergabung dalam kemacetan jalan raya demi menuju sebuah bangunan
pencakar langit. Kau menamainya kantor,
gedung tempat mendulang harta.
Dalam
panik, bergegas kau menekan deretan nomor lalu berbincang singkat dan
tergesa. Aku masih berjuang menahan
perih demikian hebat, hingga lebih dari hitungan tiga puluh menit kemudian
seseorang datang. Ia memeriksa
kondisiku, memprediksi denyut nadi hidupku.
“Syukurlah
masih tertolong. Bisa rawat jalan, tak
perlu diopname.” Ucapan dari suara
jernih lelaki berkaca mata itu justru menjadi berita buruk bagiku. Aku dinyatakan selamat, hidup. Ah, kadang aku heran untuk apa kau bersusah
membayar dokter demi menyelamatkanku, jika kemudian kembali kau rampas
kebebasan nafasku. Pandai sekali kau
bersandiwara, berpura panik dan terluka di hadapan dokter tadi.
Sementara di dalam keseharian justru kaulah yang paling bertanggung
jawab atas luka dan penderitaanku.
Setelah
meninggalkan berlembar resep, dokter itu pergi.
Ah ya, tak hanya resep. Sempat
kudengar dokter tadi meninggalkan banyak petuah. Ia minta kau menjagaku, memanjakan, juga
memperhatikan kondisiku. Aku lihat kau
mengangguk. Tapi entah mengapa aku tak
yakin. Aku tak pernah lagi percaya
padamu.
***
Memasuki
hari keempat masa pemulihanku, ternyata kau menepati janji. Lama
tak merasakan kenyamanan bernafas seperti ini.
Aku berfikir bahwa kau memang telah mengambil jalan insaf. Entah mungkin kondisiku beberapa hari lalu
demikian memprihatinkan, hingga berhasil mengetuk nurani dan akal sehatmu. Setidaknya, aku kembali merdeka, bahkan
menjadi demikian diperhatikan layaknya pangeran. Kau demikian apik mengingat jadwal obat
untukku. Untuk perhatian ini, juga untuk
siksaan yang telah kau matikan, aku ucapkan terimakasih.
Saat-saat
seperti ini, aku bisa mengenang kembali masa di mana kita masih saling
melindungi. Kita sahabat lama, telah
hitungan tahun bersama. Dulu sekali, tak
pernah ada konflik di antara kita.
Kebersamaan kita berjalan harmonis.
Itu dulu sekali, sebelum secara misterius kau berubah sangar dan
keji. Entah dari mana kau belajar
berlaku kejam. Aku tak tahu kapan
tepatnya, tapi usiamu baru beranjak meninggalkan masa remaja saat itu.
Perlahan aku mulai
merasa simbiosis antara kita tak lagi mutualisme. Entah apa sebabnya, entah karena kesalahan
apa, entah karena provokasi siapa. Sejak itu kau tak lagi ramah, menikam dan menyiksa hampir
setiap bilangan hari. Semakin lama
semakin gila, hingga sering aku menahan perih.
Sering aku menangis,
meratap, berteriak. Tapi yang membuatku
heran, kau seakan tuli. Entah di mana
kenangan tentang keakraban persahabatan kita dulu. Yang kau pedulikan hanya kepuasan
batinmu. Itu saja. Dan itu berlanjut hingga bertahun-tahun
lamanya.
Kini, saat aku
melihat keseriusanmu merawat lukaku, juga wajah panik saat aku sekarat, aku
kembali percaya padamu. Ternyata kau
masih peduli, tak sebengis yang aku fikirkan. Sekali
lagi, aku ucapkan terimakasih.
***
“Bagaimana
keadaanmu, teman?” Ia menjengukku. Ia yang mengaku sesama tawananmu. Aku tahu selama kau sibuk memperhatikan
kondisiku, terlepas jualah ia serta beberapa tawanan lainnya dari derita. Kau hanya fokus pada kesembuhanku. Aku bersyukur karena puncak sakitku kemarin
ternyata justru membuka pintu kebebasan untukku juga mereka. Ah, ternyata kau memang bijak dan masih
memiliki akal sehat. Setelah bertahun
bagai tak punya hati.
“Jauh
lebih baik.” Aku tersenyum penuh
kelegaan.
“Sekarang
masih minta mati?” Sindirnya santai.
“Haha! Andai ia berlaku manis dan perhatian seperti
ini, tak mungkin aku berharap cepat tutup usia.
Hidup terasa indah.” Aku tergelak. Lupa
sudah derita lalu.
“Baguslah. Berdoa saja semoga ia tak lagi kumat.”
***
Pagi
masih berembun, saat aku baru hendak menikmati hirupan udara.
Satu pekan dalam perawatan aku benar-benar bisa bernafas lega. Sendi tubuhku terasa nyaman. Namun mendadak tatapanku
membesar saat melihatmu kembali berniat menyumpalkan siksaan. Tidak! Kau
kembali lagi pada kebiasaan lamamu.
“Apa
yang akan kau lakukan!” Aku berteriak,
namun kau sambut dengan senyum santai.
“Rasanya
satu minggu sudah cukup.” Kalimat itu
yang keluar dari bibirmu.
“Tidak!
Hentikan. Aku belum pulih benar. Kau tahu aku bisa mati.” Sia-sia
aku mencegah. Kau benar-benar sudah gila?
Kulihat
teman-teman kembali mengkerut pada posisinya, waspada akan siksaan yang bisa
bersarang pada tubuh mereka. Hanya satu
pekan kau beri kami kebebasan? Saat ini
aku benar-benar telah kehilangan kepercayaan padamu. Dan kau tahu, saat ini aku benar-benar ingin mati.
***
Hari
berjalan seperti biasa, dalam belaian siksa yang
membuat sesak. Tak
kau perhatikan lagi kondisiku. Tak kau
hiraukan lagi petuah dokter untuk menjagaku. Butiran obat kemarin juga entah ke mana. Yang kau fikirkan hanyalah memuaskan hatimu, dengan memasang sikap acuh.
Setiap
hari aku berdoa agar kau mendapatkan kembali nuranimu, meski harapan kian tipis
rasanya. Percuma. Kau dan siksaan itu memang menjadi takdir bagiku sebelum menghadap kematian. Aku benar-benar yakin akan mati. Tubuhku kian ringkih, lemah tanpa daya. Tapi kau masih berfikir bahwa aku baik-baik saja.
Hingga
suatu malam aku merasakan sakit luar biasa. Aku tak sanggup lagi.
“Aaarrrrrrgggghhhh!!” Suaraku
mengudara kembali. Pasti
lebih keras dari teriakan lalu. Kau panik, pucat, dan gemetar, saat berusaha
membuat panggilan kepada dokter yang sama.
“Gawat,
harus segera dibawa ke rumah sakit. Kita
berdoa semoga masih sempat.” Kalimat
panik kini menular pada dokter itu. Tak
lama kemudian kudengar dengingan sirine ambulan, membuat suasana kian riuh.
Sepanjang
perjalanan aku melihat malaikat maut kian dekat. Ah, mungkin inilah saatku. Saat yang telah lama kunantikan. Saat di mana aku dapat terlepas dari siksa. Aku akan merdeka. Semoga saja.
Aku merindukan
mati? Ha ha, lihatlah betapa siksamu
membuatku berfikir bahwa kematian adalah jauh lebih
indah. Jemputlah aku sekarang, duhai Izrail.
***
Beragam
peralatan canggih tak sanggup lagi memulihkanku.
Semakin dekat takdir itu.
Sudahlah, percuma saja, aku memang akan mati. Hentikan alat pompa itu.
Kepintaran kalian tak akan mampu
mengalahkan takdir.
Kian
pelan detakku, hingga nyaris hilang.
Mungkin hanya beberapa detik saja lagi sisa hidupku. Dan kau?
Bahagiakah dengan kematianku?
Atau justru kau akan berteriak histeris, menangis meratap, menyesali keteledoran
diri? Kulirik matamu terpejam.
Astaga,
bodohnya! Kepergianku tak mungkin mengundang
reaksi darimu. Kematianku hanya akan kau
sikapi dengan diam, karena akulah detak hidupmu. Kita akan mati bersama. Kau, aku, serta seluruh tawananmu. Baru kusadari mengapa kau demikian panik saat
aku sekarat. Karena saat berhenti
hidupku, berarti mati juga seluruh organ tubuhmu. Tapi mengapa tak henti kau sesaki
aku dengan lebih
dari 4000 bahan kimia yang kian
merapuhkan fungsi hidupku?
Atau memang kau tak tahu bahwa dalam zat yang kau tuang ke dalam tubuhku
itu selalu membersamai bahan kimia karsinogenik yang mematikan. Tak penting lagi rasanya untuk dibahas,
karena kini terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih