"Sudahlah, biarkan ikan itu pergi dengan tenang." Nanang menepuk pelan pundak Damang, berlagak simpati. Sudah beberapa hari ini ia perhatikan sahabatnya itu memiliki hobi baru. Entah hobi atau nasib, yang jelas menurut Nanang sama sekali tidak ada manfaatnya. Sohib dekatnya itu selalu tertangkap basah saat sedang melamun.
"Busyet
dah. Aku aja yang dari tadi di sini baru
nyadar kalo' ada ikan mati."
Celetuk Damang sembari melirik seekor ikan mengambang pasrah dalam kolam
tepat di hadapannya.
"Emang
beneran ada yang mati? Padahal tadi itu
aku cuman godain kamu aja kali. Lagian
kamu akhir-akhir ini hobi melamun. Tar
kesambet lho!"
Damang
diam, membiarkan Nanang ikut duduk menemaninya di sisi kolam. Cuaca tidak jelas -maksudnya nggak mendung,
nggak juga panas- kian membuat suasana jadi tak menentu bagi Damang. Taman ganesha di waktu sore masih lumayan
ramai oleh beberapa mahasiswa ITB. Ada
yang belajar kelompok, ada yang asyik berduaan sambil makan siomay, ada juga
yang tertawa sendirian, ditemani note atau android kesayangan.
“Mang?” Nanang berjuang memecah kesunyian yang tercipta. Namum Damang bungkam, kian menampakkan kegalauan.
“Mang?” Suara Nanang dua tingkat lebih tinggi. Masih tanpa respon.
“Mang!” Kini suaranya benar-benar meninggi, hingga
terdengar sampai beberapa radius ke depan dan belakang.
“Eh, iya cep? Mau beli siomay?”
“Atanapi
bade lumpia basah??”
“Cuanki, Cep? Dingin-dingin gini enak
makan cuanki anget.”
Nanang dan Damang
terbengong-bengong. Mendadak aneka
jajanan plus penjualnya telah tersaji lengkap di hadapan dua jejaka tampan itu.
“Eh, nggak, Mang. Makasih.”
“Lho, bukannya tadi teriak
manggil-manggil Mang.”
“Ehm ini, tadi teman saya
lagi tes pendengaran. Barusan dari
dokter THT.” Jawab Nanang asal.
“Oh.” Tiga penjual itu serempak ber-oh ria.
“Abis dari dokter biasanya laper, Cep.
Mending makan siomay.” Pedagang
siomay tetap teguh pada penawarannya.
“Tadi sebelum ke dokter makan
dulu. Masih kenyang.” Nanang pun masih berjuang mempertahankan uang
jatah makan malam.
“Saya kasih diskon 10 persen
deh.” Rayu mang siomay.
“Halah, dagang siomay pake’ diskon
segala. Kaya’ mall lagi cuci gudang aja.”
“Muhun,
Cep. Atau saya kasih buy two get one free, bade?”
“Punten pisan, Mang. Kebetulan ada kuliah.” Nanang bangkit sambil menarik tangan
Damang. Tergesa mereka berjalan menuju
masjid Salman yang tak jauh dari lokasi taman ganesha.
“Kok ke masjid sih? Tadi bilang ke si mang siomay mau
kuliah.” Akhirnya Damang buka suara.
“Duh, Mang. Kita kan udah lulus setahun yang lalu.” Nanang kian kesal.
“Terus, kenapa bilang mau
kuliah.” Damang masih memasang tampang
oon.
“Abis si mang siomay maksa-maksa
buat beli.”
“Terus?”
“A-ku nggak pu-nya pulsa! Eh
u-ang!” Seru Nanang menirukan gaya salah
satu iklan di televisi.
“Terus? Kunaon
tadi teriak manggil mang siomay?” Dari
tampangnya, Damang memang sungguh kebingungan.
“Woi!! Aku tadi teriak, “MANG” itu manggil nama
kamu!” Nanang mengucek rambutnya yang
keribo. Kesal bukan kepalang.
“OH! Ha ha ha!
Jadi tadi itu? Ha ha. Tadi itu
kamu manggil aku?? Ha ha ha.” Seakan
sinyal yang baru sampai, Damang terpingkal begitu menyadari kenyataan pahit
yang mau tak mau harus dihadapi oleh sahabatnya barusan.
Tampang Nanang mendadak adem, begitu
melihat Damang akhirnya bisa tertawa.
Kejadian langka setelah hampir satu minggu Damang hanya diam dan
mengkerutkan kening. Ia yang tadinya
bersiap menumpahkan kekesalan langsung menyunggingkan senyum.
“Aduh, aya-aya wae. Lagian kamu
juga sih. Aku kan bilang jangan panggil
aku ‘Mang’. Jadi bingung kan, bedain
mana ‘mang’ yang dagang, mana ‘mang’ yang tampan.”
“Alhamdulillah.” Lirih Nanang berucap.
“Maksudnya?” Damang bingung.
“Kamu udah sembuh. Dari kemaren-kemaren bengong wae. Kaya’ orang galau.”
Wajah sumringah Damang berubah
mendung. Perkataan Nanang barusan
mengusik ingatannya pada masalah yang kini tengah ia hadapai. Perubahan mimik Damang otomatis mengundang
sesal di dada Nanang. Ia sadar
sesadar-sadarnya, telah salah berucap barusan.
“Sebenernya ada masalah apa sih,
Mang? Eh Dam? Eh, Damang? Ah ribet. Panggil Mang aja deh.”
Damang sunyi. Hanya tangannya tampak menggosok-gosokkan
kemeja lusuh yang memang tak sempat disetrika karena tadi terburu-buru. Nanang memperhatikan, kemudian ikut
menggosokkan tangannya ke kemeja Damang.
“Jadi dari kemaren kamu galau cuman
karena setrikaan di kostan rusak?”
Spontan Damang menghentikan gerak
tangannya. Kini aksinya beralih menjadi
garukan kecil pada tangannya yang baru saja menjadi santapan nyamuk di taman. Nanang kembali memperhatikan.
“Atau punya masalah dengan kesehatan
kulit?” Wajah Nanang kian prihatin.
“Nang?”
“Iya?”
“Aku....”
“Kamu?”
“Ehm, aku mau tanya. Emangnya tadi yang habis dari dokter THT
siapa gitu?”
“Hhhh!” Nanang menghembuskan nafas
sekuat-kuatnya. Kesal.
***
Jika ada yang mengatakan bahwa galau
ternyata adalah masalah serius yang juga berdampak pada kesehatan fisik,
pikiran, dan konsentrasi, maka Nanang adalah orang pertama. Ia sudah membuktikan sendiri, bagaimana serangan
galau mengganggu cara kerja otak Damang.
Damang kian hari semakin tidak nyambung jika diajak berbincang. Kekhawatiran ini akhirnya membuat Nanang mau
tak mau harus memaksa Damang berkata jujur.
Jangan sampai lagi ada dusta, jika tak ingin ia ketularan galau
gara-gara frustasi.
“Jadi gitu, Nang, ceritanya.” Damang akhirnya bersedia mengeluarkan
unek-unek.
“Astaga, Mang! Emang baru pertama kali jatuh cinta? Sampe’ segitu galaunya.”
“Bukan jatuh cintanya yang bikin
resah. Tapi perkataan ustadz Hilman.”
“Kamu curhat ke beliau? Gimana pendapatnya?”
“No pacaran! Nikah yes!”
Nanang menyandarkan beban tubuhnya
pada dinding koridor gedung perkuliahan.
Seperti biasa, kampus saat sore menjelang maghrib masih dipenuhi
mahasiswa yang berseliweran. Ditatapnya
lekat-lekat wajah sahabatnya. Meski
bukan aktifis DKM, Nanang sedikitnya memahami bahwa memang pacaran selalu
menjadi masalah pelik. Tak jarang ia
melihat masih ada anak-anak rohis yang pacaran.
Tapi ia memahami, sesungguhnya memang di dalam alquran tak ada istilah
pacaran. Tak percaya? Coba saja buktikan sendiri.
“Ya udah, Mang, nikah aja.” Ucapan spontan Nanang barusan mengundang
keterkejutan. Bukan hanya pada Damang,
tapi juga bagi Nanang sendiri. Kok
tiba-tiba bisa ngomong kaya’ gitu?
“Sebelum kamu protes, aku kasih
gambaran dulu deh. Sekarang kita kan
udah lulus. Malah kamu sekarang lagi
aktif jualan buku, bisnis coklat, sama jadi agen pulsa. Lumayan lah buat penghasilan di awal
kehidupan rumah tangga. So what?” Nanang membungkam mulut Damang yang mengaga,
bersiap hendak melancarkan protes.
“Itu yang bikin aku galau
akhir-akhir ini. Makan nggak enak, tidur
nggak nyenyak. Suer deh, baru kali ini
aku terserang virus galau.”
“Galau kunaon atuh?”
“Cara bilangnya gimana? Dulu sih waktu SMP pernah nembak cewek. Tapi ini beda. Ngajak nikah, Nang. Nikah.
Aku pengen nikah!” Suara Damang
terdengar dramatis, mirip adegan film korea.
Beberapa mahasiswa yang sedang berdiskusi tak jauh dari lokasi mereka
duduk tampak tercengang. Pandangan
mahasiswa itu berubah, antara sinis, kasihan, jijik. Bagaimana tidak? Secara penampakan, jelas Damang dan Nanang keduanya
sama-sama lelaki tulen.
“Ssst, ah. Pelan dikit atuh. Nggak enak didenger
tetangga.” Nanang yang lebih dulu menyadari
reaksi mahasiswa di sekitar mereka, berusaha menetralisir keadaan.
“Ups, punten atuh. Aku terbawa suasana. Jadi gimana, punya cara jitu nggak?” Damang mulai setengah berbisik. Tanpa ia sadari, justru tindakan itu semakin
mengundang curiga. Di mata mahasiswa-mahasiswa
yang tengah memperhatikan, kini perbincangan mereka justru kian tampak mestra.
“Kita lanjut di kostan. Hayu pecahkan masalah ini bersama. Setuju?”
“Setuju!” Damang dan Nanang berjabatan tangan, kemudian
saling berangkulan. Sungguh, itu hanyalah
ekspresi semangat atas perjuangan bersama.
Rasa senasib sepenanggungan dua insan yang telah lama mengikatkan diri
dalam tali persahabatan. Tapi siapa yang
bisa mencegah jika akhirnya tanpa disadari, berpasang mata kini menatap mereka
kian risih, bingung, juga iba.
***
“Will you marry me?” Sesuai saran Nanang, Damang kini memberanikan
diri untuk berbicara langsung pada nafisah, wanita imut yang belakangan membuat
hidupnya jadi tak wajar. Ketar-ketir
ditatapnya reaksi wanita berkerudung pink itu.
Mata nafisah mengerjap cepat hingga
beberapa kali, lalu berusaha menyunggingkan senyum yang hanya ia sendiri yang
tahu maknanya. Sunyi. Nafisah mengerti bukan senyum yang Damang
butuhkan.
“Naf?”
“Ya?”
“Ehm, ok. Kamu nggak harus jawab sekarang.” Damang berusaha mencairkan kebekuan.
“Oh, apa, eh, iya.”
Nafisah, pegawai kedai ijo di
kawasan pujasera yang terletak di belakang sebuah bank swasta. Damang pertama mengenalnya saat tak sengaja
menumpahkan jus, hingga membuat nafisah kerepotan. Damang dan Nanang memang terhitung sering
makan di kedai yang bernuansa putih merah itu.
Entah mengapa juga dinamakan kedai ijo.
“Perpaduan
antara semangat kemerdekaan, juga cinta pada alam” Jawab pemilik kedai seenaknya, saat Damang
iseng bertanya. Ah, daripada dikira
mr.kepo mending terima saja jawabannya.
Begitulah,
beberapa kali pertemuan akhirnya memunculkan rasa yang tak biasa. Sempat terpikir oleh Damang untuk mengajak
gadis manis tamatan SMP itu pacaran.
Tapi perkataan ustadz Hilman telah memaksanya untuk berpikir selangkah
lebih maju. Menikah. Dan hari ini, di tempat ini, bagai baru saja
memecahkan bisul, ia berhasil menumpahkan segala kegalauan.
“Kita
pulang yuk.” Setelah sekian menit beku,
Nafisah mengajukan ajakan untuk kembali ke tempat kediaman masing-masing.
“Eh,
ok.” Damang mengiyakan, meski masih
sedikit ragu.
***
Jika ada pernyataan yang menyebutkan
galau adalah penyakit kambuhan, maka Nananglah pencetusnya. Entah atas dosa apa, hingga ia harus
berhadapan dengan kegalauan yang berulang dari sahabat dekatnya. Jika terus dibiarkan, bukan tak mungkin galau
dapat juga menjadi penyakit menular. Dan
kini, rasa-rasanya Nanang mulai sedikit galau.
“Mang. Penyakitnya kok kumat lagi sih?”
“Siapa yang sakit? Di mana?”
Damang menegakkan badannya.
“Udah deh. Sekarang aku tanya. Masalah Nafisah?”
Tubuh Damang kembali lunglai,
mengkerut, ibarat kerupuk ketumpahan air.
Diaduk-aduknya segelas jus jeruk yang hanya menyisakan separuh bagian.
“Kamu ditolak mentah-mentah?” Tuduh Nanang tanpa dosa. Diacak-acaknya sendiri rambut kribo yang lima
hari belum sempat dikeramas. Salah-satu
penyakit unik Nanang adalah alergi shampo saat kepalanya mumet karena banyak
pikiran. Dan kali ini, yang menjadi
sebab penuhnya pikiran Nanang ya itu tadi, kegalauan Damang yang belum juga
menemukan ujung.
“Aku ditolak?? Kenapa, Nang?” Mendadak Damang sesenggukan. Tangannya sibuk meraba sesuatu. Dapat.
Lap meja yang sedang mengganggur spontan ia gunakan untuk mengeringkan
air mata.
“Astaga. Yang tadi itu pertanyaan, bukan
pernyataan.” Nanang menenangkan Damang
yang kalap. Tangannya menggambarkan
bentuk tanda tanya besar-besar.
“Ya ampun, aku jadi sensitif kaya’
cewek gini.” Sontak dilemparnya lap
kucel yang telah kurang ajar sempat mampir di wajah mulusnya.
Prihatin Nanang menatap Damang. Sahabatnya itu semakin kurus tak terurus.
“Jadi? Apa tanggapan nafisah?”
Damang kembali sesenggukan. Mata redupnya seakan menyiratkan kesedihan
teramat dalam.
“Beneran ditolak?” Nanang menanti penasaran.
“Nggak.”
“Jadi, diterima? Kamu pasti nangis karena terharu kan?” Nanang semakin tidak sabar.
“Nggak juga.”
“Lho?”
“Dia belum kasih jawaban. Dua bulan berlalu, dan aku menanti dalam
ketidakpastian. Setiap ketemu dia seakan
lupa. Apa jangan-jangan?” Damang kian mendramatisir, membuat Nanang
menjadi demikian iba. Pantas saja tubuh
sahabatnya kini nyaris menyerupai tiang.
Lurus.
Tak ingin membiarkan ketombe di kepalanya
semakin merajalela, Nanang akhirnya sepakat untuk menyelesaikan masalah
Damang. Sore ini, suka tidak suka, rela
tak rela, ia harus menemui nafisah.
Sungguh pendiaman yang tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Bagaimana bisa wanita imut itu menjadi demikian
cuek, sedang sahabatnya nyaris tak dapat tidur hampir sepanjang malam. Geram Nanang.
***
“Kang Damangnya nggak ikutan?” Nafisah membuka percakapan. Hari ini Nanang datang sendirian, dan
tiba-tiba meminta Nafisah untuk duduk menemaninya santap sore.
“Kenapa? Kamu kangen?”
Goda Nanang, memancing reaksi Nafisah.
“Bukan. Kang Nanang sama Kang Damang itu kan
mirip-mirip sepatu gitu lho.”
“Hah?! Mirip dari segi apanya?”
“He he. Sepasang, ke mana-mana pasti berdua. Makanya aneh kalo’ sekarang datang
sendirian. Ada yang kurang.”
“Oh.” Nanang menghembuskan nafas lega. “Kirain wajah kita berdua sedemikian
buruknya, disamain ama sepatu.”
Sunyi lagi. Beku lagi.
Sekian menit Nanang hanya menatap wanita di hadapannya. Benar juga, gadis ini memang manis, semanis
gula. Nanang mesem-mesem sendiri,
sementara Nafisah menjadi salah tingkah.
“Kang?”
“Eh, astaghfirullah.” Cepat Nanang tersadar akan misi
mulianya. Tujuannya kemari hanyalah
untuk menyelamatkan seorang anak manusia yang sedang menderita galau akut. Tak seharusnya ia menikmati wajah manis
Nafisah, pujaan hati sahabatnya. Damang
sedang menanti penuh harap, antara hidup dan mati. Dan Nanang bertekad untuk memperjuangkan
kehidupan bagi Damang.
“Kamu, punya hutang sama
Damang.” Kata itulah yang akhirnya
berhasil Nanang muntahkan. Tanpa
basa-basi. Nafisah bengong, berusaha mengingat-ingat.
“Hutang? Eh, apa waktu makan bareng dulu itu ya?” Tanya Nafisah ragu.
“Bu-bukan. Maksudnya, kamu nggak kelupaan sesuatu?” Makin kikuk.
“Lupa? Apa ya?”
Nafisah semakin tak mengerti.
“Lupa anu. Eh.
Itu. Aduh, masa’ nggak ngerasa
sih?”
“Aduh, saya bener-bener nggak ngerti
lho.”
“Oh, itu. Kamu punya janji sama Damang. Waktu itu dia bilang sesuatu, dan kamu janji
mau kasih jawaban. Gimana, sekarang
inget?”
“Bilang apa ya?”
Nanang kesal sekaligus takjub. Nih cewek pinter banget aktingnya, atau
beneran mendadak amnesia. Apa aku
tinggalin aja ya? Pikiran singkat Nanang
menjelma. Tapi bagaimana dengan
Damang? Ah, bayangan wajah pias dan lugu
dari sahabatnya itu membuat hatinya pilu.
“Will you marry me? Tah,
eta. Inget nggak Damang pernah
bilang gitu?”
Nafisah
diam, mengingat, menimbang, memperhatikan sekeliling, menunduk, mengingat lagi,
lalu memutuskan.
“Aku, inget-inget lupa. Inget waktu itu pernah ngomong pake’ bahasa
inggris, tapi lupa bilang apa.”
“Aduh, jadi kamu beneran lupa??”
“Heu euh.” Nafisah menyeruput capucinonya tanpa dosa.
“Ok.
Jadi, apa jawaban kamu? Langsung
aja deh.” Kali ini Nanang mendesak,
menuntut Nafisah untuk sesegera mungkin memberikan keputusan.
“Jawaban?” Masih tanpa beban.
“Iya. Ya ampun.
Gini deh, kita ulang adegannya.
Aku sebagai Damang dan bilang ke kamu, ‘will you marry me?’ so?”
“Hhm.”
“Ayo dong Nafisah, berikan
jawaban. Ini untuk hidup mati Damang.”
“Apa? Aku harus jawab apa?”
“Jawab aja sesuai hati nurani,
karena ini landasannya JURDIL.”
“Makin bingung.” Nafisah mengucek-ngucek ujung kerudungnya
yang tak berdosa. Apa hubungannya sama
pemilu?
“Kamu masih butuh waktu?”
“Bukan?”
“Terusss” Nanang berusaha menahan emosi.
“Itu, anu, aku mau tanya. Tadi apa itu, hhm, pertanyaannya apa ya?”
“Astaghfirullah. Naf, ini pengulangan terakhir. Kamu simak baik-baik, pasang telinga kanan
telinga kiri. Siap?”
“I-iya. Siap.”
Kali ini Nafisah yang tampak gugup.
“Will you marry me?”
“Ehhm”
“Ayo, Naf. Jawab dong, demi Damang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih