08 September 2011

STOP, Jangan Su'udzon donk!!!

Sore itu (7/9/11) saya naik sebuah angkutan umum yang hampir penuh dengan penumpang. Saya segera masuk ke bagian pojok belakang karena masih terdapat satu tempat, meski dengan space yang kecil karena seorang ibu di pojok meletakkan barang bawaan di atas kursi. Saya duduk tepat di samping barang bawaannya.

Tak berapa lama setelah duduk dan mobil berjalan, ibu itu tiba-tiba bersuara.

"Eh, ada tuker ga?"
Meski tak jelas berbicara kepada siapa, saya menoleh ke arahnya. Ternyata ibu tadi memegang sehelai uang 100 ribu.

"Oh, ga ada, Bu." Saya menjawab sembari tersenyum, mencoba sehalus mungkin menyampaikan 'penolakan'. Melihat uang itu saya otomatis berfikir bahwa beliau hendak menukarkan recehan *mungkin buat ongkos.

"O ga ada ya." Serunya kemudian.

Mobil terus melaju dan seluruh penumpang hening. Hanya bising suara mesin mobil dan deru kendaraan lalu-lalang di jalan raya yang terdengar. Cukup lama, hingga ada beberapa penumpang lain yang turun naik. Kondisi angkot selalu penuh.

Hingga pada jarak sekian sebelum turun, saya mengeluarkan uang recehan Rp.2000 untuk ongkos. Saya memang selalu menyiapkan ongkos di kantong luar tas, sehingga tidak perlu lagi membuka tas dan mengeluarkan dompet. Dalam posisi duduk yang sempit, setelah mengeluarkan uang, dengan sedikit kepayahan saya berusaha menutup kembali resleting bagian luar tas saya.

"Ah, banyak saya juga. Recehan ribuan sih. Pake' pamer segala" Tiba-tiba ibu itu kembali bersuara.

Deg, bicara sama siapa ibu ini?? pikir saya.

Saya melihat seorang laki-laki di depan ibu itu diam, demikian juga dengan seseorang lagi disamping laki-laki itu. Sama siapa lagi kalo bukan bicara sama saya??!

Saya menoleh, hanya tersenyum sekilas kemudian mengembalikan pandangan ke arah depan mobil.

"Nih!! liat buku tabungan saya." Entah merasa diabaikan atau bagaimana, ibu itu kemudian menunjukkan dua buku tabungan tepat di hadapan wajah saya, seraya menepuk-nepuk buku tersebut dengan bangga.

"Liat nih, saya punya dua buku tabungan. Uang recehan gitu sih apa. Banyak saya juga mba!!." Lanjutnya.

Saya tetap menahan untuk tidak bersuara sambil masih tersenyum. Sekilas saya liat dua orang di hadapan saya juga hanya menyunggingkan senyuman. Tak ada yang berbicara kecuali ibu tua itu.
Masih merasa tidak diperdulikan, ibu itu kemudian membuka salah-satu buku tabungan dan menunjukkan satu angka yang tertera di dalamnya.

"Nih, liat!! baca ini angka berapa??!" tanyanya semakin emosi.

Sekilas saya melihat, angka 10 diikuti 9 digit dibelakangnya. Saya lalu menoleh dan menatap wajah ibu itu, masih dengan senyuman, tanpa suara.

"Liat, baca!! sebutin ini angka berapa??!" katanya lagi.

"Sepuluh, Bu." akhirnya saya buka suara.

"Sepuluh apa?!!" lanjutnya.

"Sepuluh milyar." Ya Allah, ni ibu kenapa ya?? batin saya. Dalam kondisi shaum dan kurang lebih satu jam menjelang berbuka saya berusaha menahan emosi.

"Sepuluh juta!! Masa' sepuluh milyar" katanya lagi.

Saya kembali tersenyum, diam.

"Banyak kan?! Saya sih ribuan gitu banyak. Pake' pamer-pamer segala. Bukan pengemis saya tuh."

O oww, saya baru ngeh, mungkin dia tersinggung saat melihat saya mengeluarkan uang Rp.2000 tadi. Tapi kenapa harus tersinggung ya??! Saya memang selalu menyiapkan ongkos sebelum turun, karena tidak ingin membuat angkot berhenti terlalu lama. Dan jika sebelumnya saya bilang tidak ada receh 100 ribu, toh memang kenyataannya uang receh saya tidak mencapai jumlah itu.

Whatever, saya hanya berfikir bahwa saya perlu meluruskan sesuatu.

"Tadi saya ngeluarin ongkos, Bu" Akhirnya saya kembali bersuara.

"Apa??!" Jawabnya.

Duh, salah lagi deh. Dikirain saya mau bayarin ongkos dia kali ya? jadi makin tersinggung deh tuh

"Maksudnya, saya tadi ngeluarin ongkos buat saya sendiri, Bu."

Tampak dia mau bersuara lagi tapi sesaat seperti tercekat. Entahlah dia menyadari kesalahannya atau tidak. Tapi beberapa detik berselang, dia kembali bicara.

"Iya, tadi mau pamer kan. Uang ribu-ribuan aja. Banyak saya juga. Tadi liat sendiri kan uang saya ada 100 ribu."

Tepat saat kendaraan berbelok memasuki kawasan jalaprang, tempat di mana seharusnya saya turun, saya menyetop angkot itu. Saat turun, saya masih mendengar ibu itu berceloteh. Segera saya membayar dan berjalan ke seberang.

Tempat saya turun memang tidak tepat di kediaman saya, sehingga masih harus berjalan beberapa kilometer. Sambil berjalan, rasanya kening saya terus berkerut. Bukan karena mendadak tua akibat diomelin seorang ibu-ibu tak dikenal melainkan saya sedang berfikir.

Pertama, apa salah saya? oh, mungkin kurang menjaga sikap? tapi di bagian manakah? rasanya sepanjang perjalanan saya hanya diam dan duduk manis. Satu-satunya gerakan berarti yang saya lakukan adalah saat mengeluarkan uang.

Kedua, mungkin selama saya ini pernah kasar kepada orang lain. sehingga Allah memberikan balasan dengan cara seperti ini? Astaghfirullahal'adziim.

Ketiga, kok ada ya orang kaya' gitu? seolah tanpa rasa bersalah menyakiti hati orang lain. Ga bisa apa ngomong baik-baik??! Ini mah versi kesel binti emosi

Setiba di rumah, hingga larut malam saya masih merenungkan kejadian ini. Pasti ada hikmahnya, PASTI!!

Pelajaran yang saya dapatkan adalah, berusahalah untuk selalu menjaga husnudzon dan jangan gampang terpancing emosi. Saat melihat sikap orang lain yang kurang berkenan, sebaiknya tidak lantas membuat kita merasa dihina, kemudian marah-marah. Karena bisa jadi kitanya aja yang ke-GR-an. Seperti ibu tadi yang merasa tersinggung saat melihat saya memegang uang 2000 perak. *hehe, masak iya pamer pake uang segitu

Kejadian hampir sama dulu pernah juga dialami oleh teman saya. Saat duduk di warung dan sedang asyik bercakap dengan temannya, tiba-tiba masuk seorang wanita dan berjalan di hadapan mereka.

Entah apa yang mereka perbincangkan, tapi tampak begitu seru dan penuh tawa. Hingga meluncur kalimat, 'teu sopan pisan nya'.
"iya, teu sopan." kata salah-satu diantara mereka membenarkan. Kemudian obrolan berlanjut, kembali rame.

Tiba-tiba, wanita yang tadi masuk ke warung membuka suara.

"Terserah mau ngomong apa juga, yang jelas saya mah udah bilang punten tadi."

Dua orang teman saya tampak bingung, menghentikan perbincangan seraya melihat ke arah wanita itu.

"Tadi kan saya udah bilang punten sebelum lewat." Lanjutnya lagi.

Beberapa saat hening, hingga kemudian dua sahabat itu menyadari kekeliruan yang terjadi. Ternyata wanita itu menyangka kalimat 'teu sopan' tadi ditujukan kepadanya. Padahal itu hanyalah bagian dari obrolan yang sedang membicarakan seseorang yang lain.

Pelajaran selanjutnya, mungkin tak ada ruginya untuk mengevaluasi diri sendiri. Tentang sikap saya selama ini. Mungkin disengaja ataupun tidak, banyak orang yang merasa tersinggung dan tersakiti. Yaa, apapun itu, bercermin pada diri sendiri adalah jauh lebih baik.

Dan seperti beberapa kejadian yang pernah saya alami, kejadian inipun membuat saya bersyukur. Karena dengan peristiwa inilah saya kembali mendapatkan satu inspirasi untuk merangkai kata-kata

2 komentar:

  1. assalam .......

    Teteh kalimat yang ini aku kutip ya Teh .,

    "berusahalah untuk selalu menjaga husnudzon dan jangan gampang terpancing emosi. Saat melihat sikap orang lain yang kurang berkenan, sebaiknya tidak lantas membuat kita merasa dihina, kemudian marah-marah. Karena bisa jadi kitanya aja yang ke-GR-an"

    dan yang ini

    "mungkin tak ada ruginya untuk mengevaluasi diri sendiri. Tentang sikap saya selama ini. Mungkin disengaja ataupun tidak, banyak orang yang merasa tersinggung dan tersakiti. Yaa, apapun itu, bercermin pada diri sendiri adalah jauh lebih baik"

    nuhun Teteh

    BalasHapus
  2. wa'alaikummussalam,,,

    iya mangga,,, sami2,,,,

    BalasHapus

Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih

Memeluk Kenangan

Saat aku mencoba melupakan namun gagal, Saat itulah aku memutuskan untuk berhenti melupakan. Berdamai. Merangkai kisah dalam ...