Nanar ditatapnya langit-langit kamar. Pikiran Ammar menerawang, mengenang proses ta’aruf enam bulan lalu. Kurang dari satu bulan istikharah dilanjutkan dengan temu keluarga dan khitbah. Namun niat tak ingin berlama-lama akhirnya kandas sudah. Ah, andai bukan karena mahar yang menurutnya terlalu dipersulit, tentu setidaknya tiga bulan lalu ikrar suci itu telah ia lafadzkan.
“Tring.” Teriakan hp membawanya ke alam sadar. Deretan kata dalam pesan singkat ia telusuri.
“Akhi, afwan ana hanya sekedar evaluasi
mengenai permintaan adik ana. Sampai
saat ini, berapa persen mahar sesuai yang disyaratkan telah sanggup
terpenuhi?” Ridwan, kakak sang calon
kembali menagih janji. Tentulah atas
permintaan Khadijah, adik semata wayangnya.
Setelah disimpannya
hp tanpa memberi jawaban, Ammar kembali berbaring. “Tak perlu kujawabpun pastilah mereka tau
kondisiku.” Pikir hatinya.
“Mengapalah tak sejak awal ia
mensyaratkan mahar itu pada biodatanya, jika akhirnya menjadi demikian wajib
tak tertawarkan. Atau minimal saat
ta’aruf. Mengapa juga harus mengiyakan,
bahkan memajukan urusan sampai ke khitbah.”
Sesal Ammar, merunut permintaan Khadijah yang baru diterimanya saat
menjelang akad. Entahlah dirinya yang
salah karena tak mempersiapkan diri sejak dulu, atau Khadijah yang terlalu
berlebihan.
“InsyaAllah untuk kebaikan akh, menurut saya ini bukan mengada-ada. Saya tak minta banyak harta. Silahkan akhi pertimbangkan kembali.” Jawab Khodijah saat Ammar memohon keringanan.
***
“Bro, jadi kapan akadnya? Tak baik menjeda terlalu panjang dari proses
Khitbah ke akad.” Tepukan Azhari
mengagetkan Ammar yang sedang menyendiri di taman belakang Islamic Center. Masih dalam diam
Ammar bergeser posisi, memberi ruang bagi Azhari untuk duduk di sisinya.
“Aku liat kau akhir-akhir ini sering
melamun. Ada apa pula rupanya, Mar?” Tak ada reaksi. Fokus otak Ammar sepertinya hanya tercurah
pada satu urusan, Mahar. Persayaratan
yang hingga kini masih berat untuk disanggupi.
“Ayolah Mar, kau ceritalah sama
aku. Mana tau kawan kau ni bisa
bantu.” Tak tahan berdiam bagai sedang
bermusuhan, Azhari kembali mendesak.
“Kau tau aku sudah mengkhitbah
seorang wanita kan?” Akhirnya suara yang
dinanti mengalir juga. Anggukan Azhari
menandakan ia sedang menanti suara lebih lanjut.
“Setelah awalnya lancar bak jalan
tol, kini hambatan mulai aku hadapi.
Belum lagi berumahtangga, wanita itu sudah minta satu hal. Pening awak dibuatnya.” Tatapan Ammar masih lurus, memandang rumpun
mawar yang sedang bermekaran.
“Memang apa yang dia minta? Rumah, mobil, jalan-jalan ke luar negeri,
atau bulan madu ke Paris?” Ada rona tak
percaya pada raut Azhari. Tak habis
pikir ia bahwa seorang shalehah seperti Khadijah ternyata akan mengajukan
syarat yang memberatkan.
“Bukan, Ri. Bukan soal materi. Kalau harta kau tau sendirilah. Bisnis aku sekarang sedang naik daun. Tak sulit bagi aku untuk membelikan ini itu.” Berdiri Ammar menuju rumpun mawar yang sedari
tadi ditatapnya.
“So?” Singkat saja tanggapan Azhari. Ia mengekor Ammar, mengejar pemuas rasa
penasaran dalam benaknya.
“Awak akui awak pernah nyantri di
pesantren selama 4 tahun, semasa lulus MTs dulu. Tapi otak awak ni belum juga sanggup
menyimpan 30 juz Alqur’an secara utuh.
Bukan tak ingin, tapi setidaknya butuh waktu yang tak sebentar untuk
itu. Butuh program.” Kini ditatapnya sahabat dekatnya itu, seolah memohon
pengertian dan pembelaan.
“Jadi, maksud kau dia minta supaya
kau hafal Alqur’an dulu, baru nikah?”
Serius ditatapnya mata Ammar.
“Kira-kira begitulah.”
“Berapa juz sudah mampu kau rekam
dalam otak kau sekarang?” Kejar Azhari.
“Baru 17 juz, itupun masih timbul
tenggelam.” Lemas suara Ammar, seolah
baru menyadari bahwa ada hampir separuh bagian lagi yang belum tersentuh.
“Wei, hebatlah tu. Akupun ngapalin 5 juz tak tamat-tamat. Harusnya bersyukur si Khadijah tu.” Geram tampaknya Azhari, membayangkan
kesempurnaan yang dituntut oleh calon istri sahabatnya.
“Aku sudah minta keringanan. Janji aku akan menamatkan hingga 30 juz
setelah menikah. Tapi dia bilang ini bukti
keseriusan dan komitmen. Dia beralasan
gampanglah bagi aku untuk minta tolong sama ustadz di pesantren dulu.”
“Tapi harusnya dia sadar, tak
mungkin sebulan hafal hampir separuh.
Memang sampai kapan dia mau menunggu?”
“Tak ada batasan waktu yang jelas. Tapi hampir tiap minggu aku disms sama abangnya. Padahal sewaktu khitbahpun dia tak
menyebutkan syarat ini. Hanya ketika
menjelang akad aku bertanya tentang mahar apa yang dia pinta, barulah dia
bilang. Seakan tanpa beban, seolah itu
hal mudah untuk aku penuhi. Akadpun
terpaksa diundur.”
“Kau berjuanglah dulu kawan. Jangan menyerah. Kalo’ memang jodoh, pastilah ada jalan.” Azhari merangkul bahu Ammar, menguatkan. Meski ia sendiri masih tak habis pikir
tentang mahar yang harus disanggupi oleh temannya.
***
Ragu Ammar mematikan deru mesin
mobilnya. Di depan rumah itu kini ia
berada. Rumah yang menyimpan gadis yang
diharapkan menjadi calon ibu bagi anaknya kelak. Wanita shalehah bersahaja yang ia kenal
melalui ustadz Karim. Putri kyai Ahmad,
pemilik pesantren tersohor di kotanya. Hari
ini ia kembali hendak bernegosiasi, meminta permakluman.
“Sudah berapa persen terpenuhi
akhi?” Ridwan langsung pada poin
utama. Tak tega sebenarnya ia, tapi
keinginan adiknya pun tak ada yang bisa melawan.
“Aku sekarang sudah hafal 19 juz,
bertambah dua juz dari waktu terakhir ketemu.
Tak mudah untuk sampai ke angka 30, Bang. Bolehlah kiranya Abang bicara sama Khadijah.
Aku janji beberapa bulan setelah menikah akan aku tamatkan semua.”
Ridwan diam, berpikir dan menimbang
permintaan Ammar. Berkali sudah ia
menyampaikan hal ini pada adiknya, tapi jawabannya hanya satu. Harus hafal 30 juz, tak kurang. Entah dengan cara apa lagi ia dapat
meyakinkan tentang keseriusan dan semangat calon adik iparnya ini kepada sang
adik.
“Baiklah, ana coba sampaikan
lagi. Nanti ana kabari lewat sms, atau
minggu depan kau datanglah lagi kemari.”
Hanya kata itu akhirnya yang mampu ia tawarkan sebagai solusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih