Seorang mahasiswa angkatan 2011 yang merantau jauh dari orangtua, menghubungi ibunya. Kali ini permintaannya adalah sebuah meja belajar model baru, setelah sebelumnya difasilitasi dengan laptop lengkap dengan modem. Alasannya, untuk kenyamanan belajar selama masa kuliah.
Tak lama sang ibu bertandang dari pulau sumatera ke Kota Bandung. Meja belajar plus kursi bak direktur (kursi beroda yang dapat diputar) akhirnya menetap di kamar kostan sang anak yang tak seberapa luas. Temannya yang berkunjung hanya menyindir,
"Wah, saya belum pernah nih duduk di kursi kaya' gini."
Sebelumnya, sang anak minta dibelikan tempat tidur, karena merasa tak cukup hanya kasur di lantai. Padahal mayoritas penghuni kostan di tempat tersebut hanya menggunakan kasur, tanpa tempat tidur khusus. Selanjutnya, sebuah Televisi juga berhasil ditangkringkan di atas meja belajar barunya.
***
Semester I berakhir. Orangtua sang anak kembali berkunjung ke Bandung. Kali ini mahasiswa tersebut minta dibelikan Black Berry, yang kemudian juga disetujui oleh Ibunya. Saya menduga, BB tersebut adalah hadiah atas prestasi yang diraih pada semester pertama.
"Dari keseluruhan nilai, hanya satu nilai B." Ujar sang Ibu.
"Wah, hebat donk, yang lain A berarti ya."
"Boro-boro. Yang laen C sama D kok." Gusar sang Ibu.
Lho? Tapi malah dikabulkan permintaannya?
Ternyata sang anak beralasan karena tidak punya BB dia sering ketinggalan informasi, dan sebab itulah nilainya anjlok. Maka demi usaha memperbaiki nilai, mahasiswa tersebut merasa wajib punya BB.
Terakhir, anak tersebut minta dibelikan sepeda motor. Alasannya, sering kesulitan bergaul sama teman-temannya. Padahal jarak kampus dan kostan sang anak hanya beberapa jengkal saja, tinggal melangkahkan kaki beberapa ayunan.
***
Melihat fenomena ini, saya hanya tersenyum. Saya jadi teringat kondisi sewaktu dulu masih kuliah. Di kamar kostan tanpa meja belajar, kasur di lantai, serta tanpa komputer. Untuk mengerjakan tugas terpaksa harus mengakrabkan tubuh dengan kerasnya lantai. Kadang kaki kesemutan, kadang tangan pegal karena sekaligus digunakan untuk tumpuan ketika menulis. Kadang dada juga terasa sakit karena terlalu lama berbaring. Belum lagi tugas worksheet akuntansi yang seharusnya sangat-sangat membutuhkan 'kenyamanan' alas untuk menulis.
Posisi setengah tiduran (berbaring terlungkup) sudah menjadi kebiasaan dalam menyelesaikan mayoritas tugas kuliah, dari semester pertama hingga akhir. Tak jarang posisi seperti itu pada akhirnya mengundang kantuk yang tak seharusnya datang lebih awal. Sering saat belajar untuk ujian, saya tertidur. Bangun di tengah malam dengan hamparan kertas yang berserakan di lantai, ditambah hafalan yang belum seutuhnya direkam dalam memori otak. Gelagapan saya kembali melanjutkan belajar, atau menyelesaikan tugas jika memang ada pekerjaan rumah yang harus dibereskan.
Tapi kondisi seperti itu menjadi fenomena mayoritas mahasiswa saat itu. Jarang ada yang mengeluh. Dan Alhamdulillah, IPK saya di atas rata-rata waktu itu.
***
Mungkin benar bahwa kenyamanan sangat dibutuhkan, terutama dalam proses belajar mengajar. Tapi apakah menjadi suatu kebutuhan mutlak? Apalagi ternyata kenyamanan tak otomatis diikuti oleh cemerlangnya prestasi.
Mengapa tidak mencoba 'memperkuat' ketahanan diri, dan berusaha 'menyamankan' kondisi yang ada. Lalu jika nilai anjlok, apa ketidaknyamanan harus langsung dikambing hitamkan?
***
Saya sangat terinspirasi membaca novel 'Ranah 3 Warna' karya A.Fuadi. Novel yang merupakan kelanjutan dari 'Negeri 5 Menara' ini menceritakan kondisi yang harus dihadapi Alif semasa menempuh kuliahnya di Universitas Padjadjaran.
Alif yang belum mampu membayar kostan sendiri terpaksa menumpang di kamar temannya, Randai. Fasilitas komputer yang dimiliki Randai dapat ia gunakan, tapi tentu tengah malam, saat Randai sedang tertidur lelap. Jauh dari posisi nyaman. Tapi tak lantas membuat Alif menyerah, menyalahkan keadaan. Kondisi demikian justru menjadikan akalnya kreatif mencari solusi.
***
Ayolah, para mahasiswa! Jangan terlalu memanjakan diri. Hidup merantau jauh dari orangtua seharusnya justru menjadi pembelajaran yang sangat baik untuk lebih dewasa dan mandiri. Saya tak mengatakan semua harus terjun dalam kondisi seperti itu, karena toh banyak anak yang berkecukupan sehingga memang mampu menyediakan fasilitas mewah sebagai penunjang kegiatan belajarnya. Tapi jika tidak, mengapa harus dipaksakan?
Banyak kondisi yang justru akan membuat kita kuat, belajar banyak untuk lahir menjadi pribadi tangguh. Dan tak semua orang punya kesempatan untuk itu.
So, bersyukurlah, untuk kalian yang sanggup melawan segala ketidaknyamanan, menumbuhkan kekuatan dan prestasi, justru di dalam suasana yang jauh dari fasilitas megah.
Mari tunjukkan prestasimu!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Memeluk Kenangan
Saat aku mencoba melupakan namun gagal, Saat itulah aku memutuskan untuk berhenti melupakan. Berdamai. Merangkai kisah dalam ...
-
Hari Ahad lalu (10 Februari 2013) saya iseng maen ke Gramedia di Jalan Merdeka Bandung. Keliatan banget yah lagi nggak ada kegiatan, samp...
-
Alhamdulillah, akhirnya saya bisa punya rumah sendiri. Prikitieew. Mau tau ceritanya?? Yah, dengan uang pas-pasan, salah-satu alterna...
-
Mendengar nama Zamzam, sebagian besar orang akan langsung membayangkan satu sosok yang begitu dekat dengan Alqur'an. Lantunan tilawah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih