Gemetar tanganku membuka lipatan kertas kumal itu. Kertas impian Cahaya yang beberapa hari lalu sempat kuabaikan, namun begitu mengusik penasaran kini. Rangkaian kalimat singkat beradu dengan kabut yang mengaburkan pandangan. Sesak.
***
“Mak, sudah lihat kalender?” Aku menghentikan gerakan tangan dari mencuci
sayuran, menoleh sejenak ke sumber suara.
Di depan pintu dapur tampak Cahaya tengah mengulas senyum.
“Emang kita punya kalender?” Kulanjutkan kembali aktivitas yang tertunda,
menyiapkan bahan untuk dagangan pecel pagi ini.
Meski urung namun kujawab jua pertanyaan Aya, panggilan untuk Cahaya.
“Ada, Mak. Tuh, di depan.” Ah ya, aku ingat. Satu karton bekas yang ditulisi dengan
rangkaian angka dan hari beserta keterangan singkat kini terpajang di ruang
depan. Kalender hasil kreasi tangan Aya. Mungkin bentuk protes atas sikapku yang
enggan membeli kalender dikarenakan sayang akan rupiah.
“Sebentar lagi tanggal sembilan
Desember.” Kini Aya telah berdiri di
sampingku.
“Terus?” Aku pura-pura tak faham, membuat semangat di wajah Aya seketika pudar. Padahal mana mungkin aku lupa tanggal lahir putri semata wayang yang kini harus seorang diri pula kubesarkan. Tapi apa pentingnya sebuah hari lahir? Ulang tahun Aya ke berapa yang pernah kurayakan? Kulirik Aya memendam kecewa.
“Hhm..., Aya boleh minta sesuatu, Mak?”
“Tahun lalu sepatu baru. Tahun sebelumnya boneka Barbie. Kau
tau kan bagaimana perjuangan Emak waktu itu?
Sekarang dagangan Emak nggak selaris dulu. Sudahlah, jangan minta macam-macam. Mending bantu Emak ulek bumbu pecel.”
“Tapi, Mak…”
“Kacangnya ada di bakul. Mumpung libur kita buat pecel lebih
banyak.” Tanpa memperdulikan lagi
permintaan Aya aku berlalu, menyalakan kompor minyak tanah untuk merebus
sayuran.
***
Kulirik jam untuk kali
kesekian. Matahari telah lama tenggelam,
tapi sosok itu belum lagi menampakkan diri.
Berapa kali sudah kuingatkan untuk tak berlama-lama di luaran. Sejak mengikuti kelas mengaji Bang Ambia yang
memang gratis, Aya sering pulang terlambat.
Tak faham apa yang dia pelajari di sana.
Yang kutahu, Aya mulai sering mengulang bacaan Qur’an dengan suara
kencang setiap malam. Suatu ilmu yang pasti tak akan didapatkannya dariku.
Pada hari sekolah, Aya tak sempat
membantu menyiapkan bumbu pecel di pagi hari.
Karena itulah aku selalu memintanya untuk mengulek bumbu malam
hari. Tapi sekarang, ke mana anak
itu? Ingin rasanya kususul ke surau
tempat biasa Bang Ambia mengajar anak-anak mengaji. Demi mengusir kesal
kulangkahkan kaki ke dapur, kembali menata perlengkapan berjualan.
“Assalamu’alaikum, Mak.” Suara itu akhirnya datang juga.
“Ke mana saja? Mak sudah bilang jangan malam-malam. Apa saja kerja kau di surau sana?” Kutatap Aya yang masih berbalut atasan mukena
lusuhnya.
“Mengaji, Mak. Mak mau ikut mengaji? Nanti subuh kita ngaji bareng ya.” Polos
wajahnya membuat hatiku tak tega untuk menyemprotkan amarah.
“Mak tak sempat, banyak
kerjaan. Jangankan ngaji, sebelum subuh pun
Mak sudah harus ke pasar beli sayur.
Sudahlah, cepat ulek bumbu sana.”
Aya bergegas melepas mukena dan menyimpannya di atas kursi makan.
Hari-hariku memang selalu sibuk, mencari nafkah untuk makan
dan kebutuhan kami berdua. Jangankan
baju baru, biaya sekolah Aya saja sudah cukup rasanya menyesakkan ritme
nafasku. Tak sempat memikirkan masalah
lain. Bagiku yang penting aku dan Aya
bisa bertahan, tanpa mengemis simpati dari tetangga sekitar.
“Hmm, mengenai impian Aya nanti di hari ulang
tahun….” Pecah kesunyian oleh suara
seraknya. Dari akhir kalimat yang
menggantung aku dapat menerka bahwa ia ragu.
Kubiarkan saja kalimat itu mengambang, tanpa balasan.
“Aya sudah menuliskan satu impian di
atas kertas. Kalau bisa, ingin sekali
rasanya impian Aya kali ini bisa terwujud.”
Merasa tak ada reaksi, ia meneruskan sendiri kalimatnya.
“Bu Husna bilang, kita boleh
memiliki impian setinggi langit. Bang
Ambia juga mengatakan bahwa impian adalah sesuatu yang harus dimiliki. Karena dengan impian kita memiliki harapan,
dan dengan harapan kita bersemangat untuk melakukan usaha.” Sudah pintar rupanya gadis kecilku ini. Bilangan
ke tujuh dalam usianya cukup membuat Aya bijak menyerap rangkaian petuah dari
gurunya di sekolah. Tapi tentu ia belum cukup usia untuk memahami realitas
hidup, bahwa impian tak selamanya harus terpenuhi. Ada keterbatasan yang memagari keinginan,
hingga terkadang impian terpaksa harus dikubur dalam-dalam, lalu dilupakan
untuk selamanya. Apalah lagi impian di hari ulang tahun. Sebuah impian yang hanya pantas dimiliki oleh
anak berpunya.
“Nanti Mak baca ya. Tepat tanggal sembilan Desember.” Tanpa peduli Ia terus
saja berkicau.
“Mak tak janji.” Singkat saja jawabanku. Aya tampak memutar kepalanya, seakan mencari
sesuatu.
“Ah.
Mak lihat mukena yang tadi Aya kenakan?
Mukena itu…” Ragu lagi
kalimatnya. Terputus sampai di
sana. Mungkin Aya malu karena mukenanya
sudah lusuh. Mukena yang didapatkannya
atas sumbangan anak tetangga. Pastilah
Aya mengimpikan sebuah mukena baru, berenda strawberry seperti milik Larai
teman sepermainannya. Atau mukena motif
bunga warna-warni semacam punya Afika.
“Bagaimana nanti sajalah. Minggu depan Mak harus bayar sewa rumah. Sisa uang paling cukup untuk bayar sekolah
dan makan.”
“Mak tak punya mukena?”
“Mak punya pun sudah lusuh. Tak terlalu penting punya yang baru.” Sedikit kupelototkan mata ke arahnya. Aku memang tak terlalu suka saat Aya mulai
banyak bertanya. Kulihat Aya kembali
menunduk, menyembunyikan niat untuk mengutarakan satu keinginan.
***
“Ya ampun! Dari mana saja, hah! Jam segini baru pulang. Kumal pula baju kau tu. Abis ngapain?!” Geram aku menarik tangan Aya yang jelang
maghrib baru menampakkan diri. Sepulang
sekolah entah kemana rupanya anak ini.
“Aya abis cari uang, Mak.” Sedikit meringis suaranya, mungkin menahan
sakit akibat tarikan tanganku tadi.
“Cari uang?! Cari di mana?
Bukannya bantu Mak dagang, malah keluyuran. Buat apa cari uang segala?” Emosiku belum jua mereda.
“Untuk impian Aya di hari ulang
tahun nanti. Aya tadi ikut temen ngamen di Perapatan Pahlawan sana.” Takut-takut suaranya.
“Ngamen? Memang berapa kau dapat uang?”
“Lumayan, hari ini dapat tiga ribu
tiga ratus.” Aya mengeluarkan keresek
hitam berisi recehan logam. Sambil
berjongkok dihamparkannya recehan itu di atas lantai.”
“Lihat, Mak.
Banyak kan?” Kini tampak rasa
bangga pada nada suaranya.
“Sama siapa saja tadi?”
“Doni, Iyan, Eman, Yosi.” Keempat teman yang juga anak kampung sini itu
memang sudah biasa mengamen. Aku
melunak. Entah apa yang diimpikan Aya
hingga ia rela berpayah mencari tambahan uang.
Ada baiknya kubiarkan sajalah, daripada lelah mendengar rengekannya atas
permintaan yang belum tentu juga sanggup kupenuhi.
“Ya sudah, mandi sana. Jangan lupa nanti bantu Mak.” Kutinggalkan Aya yang sibuk merapikan recehan
hasil kerja kerasnya hari ini.
“Mak tak marah?” Masih sempat kudengar suaranya.
“Asal jangan ngamen jam sekolah. Mak tak
mau kau jadi bolos gara-gara cari uang.”
***
Seminggu lebih Aya sibuk dengan
pekerjaan barunya. Selalu setiap sore ia pulang dengan tubuh lelah
bermandi keringat. Tapi rona ceria di
wajahnya menyiratkan bahwa ia tak akan menyerah, hingga impiannya dapat diraih. Sempat kulihat keresek tempat recehan itu
tampak semakin berat. Perlahan mulai
menyelinap rasa penasaran akan impian Aya tahun ini. Kira-kira apalagi yang demikian
diharapkannnya? Besok tepat hari ulang tahun Aya, dan semua teka-teki itu akan segera
terpecahkan.
“Assalamu’alaikum, Mak.” Hari ini tumben Aya sudah berada di rumah
saat hari masih terang.
“Wa’alaikumsalam. Kau tak ngamen
lagi?” Kulihat Aya menjinjing keresek
hitam lumayan besar yang dengan cepat disembunyikannya di belakang punggung.
“Uang Aya sudah mencukupi. Aya baru saja membeli sesuatu, untuk
mewujudkan impian Aya tahun ini.” Senyum
di wajahnya mengandung misteri.
“Apa isi keresek itu?” Rasa penasaranku kian menjadi. Namun Aya berjalan cepat menuju kamar.
“Besok saja Mak Aya kasih tau. Aya mau ke tempat Bang Ambia. Sudah lama Aya bolos gara-gara sibuk ngamen kemaren.” Teriaknya dari dalam sana.
Aku menghela nafas. Impian anak kecil terkadang memang sulit
dipahami. Satu hal yang menurut orang
dewasa tak terlalu penting, bagi mereka justru membuat demam saat tak kunjung
terpenuhi. Meski aku dulu juga pernah
mengalami masa kanak-kanak, tapi rasanya tak pernah punya mau ini itu. Kubiarkan Aya sibuk dengan urusannya. Pasti kini berbunga hatinya karena mampu
mencapai apa yang sangat ingin ia wujudkan.
Diam-diam terselip bangga juga di dalam hatiku.
***
“Leha, cepatlah kau ke rumah sakit
Santosa. Ada yang bilang Aya tertabrak
sepulang sekolah.” Suara dari luar
langsung dapat kukenali. Tapi isi
perkataannya tadi? Bergegas kutinggalkan
rebusan sayur yang baru setengah matang.
“Apa kau bilang? Jangan becandalah.” Sekedar untuk meyakinkan kugoyang bahu Sarah,
tetangga yang datang membawa berita.
“Aku serius. Buat apa becanda.” Dari mimik wajahnya aku sadar Sarah tidak
sedang mengajak bergurau. Dalam panik
aku hanya mampu bolak-balik, keluar masuk rumah. Bingung harus berbuat apa.
“Tenanglah. Mudah-mudahan Aya tak kenapa-napa. Sekarang Kau pergilah sama Bang Deri, dia
sudah menyiapkan mobil.” Seperti paham
akan kebingungan yang berserakan dalam kepalaku, Sarah segera memberikan
solusi.
“Tolong kau jaga rumah. Tadi aku tak sempat matikan kompor di
dapur.” Setengah berlari masih
kusempatkan meninggalkan pesan pada Sarah.
Aku bahkan lupa untuk berganti pakaian.
Sepanjang perjalanan seketika berkelebat bayangan tentang Aya. Bagaimana tadi pagi ia masih menyungkingkan
senyum bahagia. Bahagia atas hari
lahirnya. Bahagia akan impiannya yang
terwujud meski harus ia usahakan dengan tangannya sendiri.
Terbayang betapa kerasnya kehidupan kadang memaksaku
berlaku keras juga dalam mendidiknya.
Berulang ia menampakkan keinginannya tentang satu impian, tapi tak
pernah kugubris. Aku semata tak ingin
Aya menjadi manja. Tak semua kemauan
dapat selalu terpenuhi. Hanya itu yang
coba kutanamkan dalam prinsip hidupnya.
Ah, bodohnya, aku bahkan tak sempat mengucapkan selamat ulang tahun
untuk Aya. Aku menangis, seakan baru
menyadari bahwa Aya hanyalah anak kecil yang belum layak diperlakukan sama
dengan orang dewasa. Ia belum seharusnya
merasakan kerasnya kehidupan.
“Nanti pulang sekolah, Mak boleh tau
impian Aya. Aya tulis di kertas, ada di
bawah bantal. Kita baca sama-sama ya.” Aku mengenang kalimat terakhir sebelum ia
berangkat sekolah. Kalimat yang bermakna
biasa tadi pagi, namun menjelma pesan demikian dalam saat ini. Sekuat tenaga kucoba buang jauh-jauh segala
prasangka yang menyesakkan dada. Aya
pasti baik-baik saja.
***
Gundukan tanah itu masih basah,
karena hujan tak henti mengguyur kampung sejak pagi. Setiba di rumah yang mendadak menjadi
demikian hampa, kupaksakan kaki menjenguk kamar Aya. Pandanganku terarah pada satu benda hitam di samping
bantal tidurnya. Dengan sesak teramat
dalam kucoba mencari satu kertas yang katanya diselipkan di bawah bantal. Entahlah masih berarti atau tidak impian itu
kini. Tapi rasa penasaran mendadak
mengalahkan segala duka atas kenangan. Bersama
bayang kegigihan Aya kutarik secarik kertas yang terlipat rapi.
Gemetar tanganku membuka lipatan
kertas kumal itu. Entah mengapa aku
merasa ada amanat demikian penting yang ia selipkan dalam rangkaian kalimat
singkat yang tertulis di atasnya.
“Mak, Aya boleh minta sesuatu? Tapi janji Mak tak akan marah. Aya takut, tapi sangat ingin. Bang Ambia bilang, perempuan dewasa itu harus
menggunakan kerudung. Kalau tidak, tak
akan mencium wanginya syurga. Itu
artinya tak akan masuk syurga. Sedang di
lain kesempatan Bang Ambia juga bilang bahwa syurga itu ada di telapak kaki
ibu. Aya bingung Mak. Kalau Mak pun tak masuk syurga, lalu di mana
syurga Aya, yang katanya ada di telapak kaki Emak. Aya sangat ingin
tinggal di syurga, Mak. Impian Aya
adalah menjadi penghuni syurga. Katanya
di syurga itu enak. Apa yang kita mau
tak perlu bersusah didapatkan.
Mak tak marah kan? Mak tak perlu repot cari kerudung. Aya sudah beli satu. Kerudung murah, tapi bagus. Aya baru bisa beli satu, sebab uang yang
terkumpul memang belum banyak. Aya juga
belum bisa belikan Mak mukena baru. Tapi
janji, nanti kalau Aya banyak uang, Aya beli mukena dan kerudung yang banyak.
Sekali lagi, Mak tak marah kan?”
Cepat kubuka keresek hitam yang
sedari kemarin disembunyikannya dariku.
Sebuah kerudung coklat muda dengan bordir daun di bagian atas
kepala. Kembali lemas rasanya seluruh
persendian badan ini, sementara sudut mata kian deras menumpahkan butiran
hangat. Dalam bibir yang bergetar
aku berucap lirih, mencoba bicara seorang diri. Ah tidak, aku sedang berbicara pada Aya. Aku berbicara pada sosok yang dapat
kupastikan bahagia dalam tidur panjangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih