25 Oktober 2013

MR. MATA-MATA

            "Telat lagi?? Makanya, baca komik jangan sampe’ malem.  Kesiangan deh tuh!”

Glekk.  Baso yang belum terkunyah sempurna nyaris melesat masuk ke kerongkongan.  Dari nomornya aku tak kenal.  Siapa yang mengirim sms iseng begini?

            “Paling temen kelas kita.”  Tiara berkomentar.

            “Kalo nggak, fans rahasia.”  Marsya tak mau kalah.

Entah siapa, awalnya tak begitu aku pedulikan.  Tapi pada akhirnya kami sibuk menerka sembari bercanda, lalu diikuti tawaan cuek.  Seolah kini kami punya mainan baru.

Tebakan pertama jatuh pada Arifin.  Cowok culun, berkacamata minus, dan selalu membawa bekal dari rumah.  Rumornya, siswa kutu buku ini memang diam-diam sering mencari informasi apa saja terkait dengan kepribadianku.  Tapi jika melihat pembawaannya yang polos, juga jemarinya yang selalu bergetar saat akan berbincang langsung denganku, rasanya mustahil dia berani mengirimkan sms tadi.  Kuteliti lagi gaya bahasa sms yang cenderung berani.  Pastilah bukan dari orang bertipe seperti Arifin.

           

                   Marsya mengetuk-mengetukkan jemari di atas meja, tampak berfikir.  Sepertinya ia tengah bersiap meluncurkan tersangka nomor dua.

            “Bastian!!”  Suara alto Marsya cukup membuat seantero pengunjung kantin mencuri pandang.  Aku dan Tiara kompak ber-sstt ria sambil menebar senyum kanan kiri, sebagai pertanda bahwa tidak ada masalah.  Hening beberapa detik.  Tiara memajukan bibirnya, melakukan analisis.  Matanya melirik-lirik lucu, di tambah lagi jari telunjuk kanannya terangkat ke atas, menambah ekspresi geli dari gadis yang hobinya berkepang dua ini.  Sementara Marsya kini tampak membetulkan kerudung yang sejatinya baik-baik saja, sambil berkaca di etalase makanan kantin yang kebetulan terletak persis di samping kursi kami duduk.  Cewek campuran Minang Sunda ini baru seminggu yang lalu memutuskan untuk berkerudung, masih canggung.

            Bastian memang petakilan dan suka iseng.  Tak terhitung bilangan jari ia pernah mengusiliku di kelas.  Menyembunyikan buku tugas, mencoret alas duduk dengan kapur, menyimpan ular karet di laci meja, dan yang paling mengesalkan adalah saat ia menempelkan kertas bertuliskan ‘SAYA MAHKLUK LUAR ANGKASA’ di punggungku, tepat ketika aku bertugas menjadi pembawa bendera di lapangan sekolah.  Dan bodohnya, saat sontak seluruh peserta tertawa, aku malah menangis bak anak TK.  Memalukan.  Pastilah Bastian merasa menang saat itu.  Baiklah, usulan ‘tersangka’ dari Marsya sementara bisa diterima.

            “Tapi Bastian kan nggak pernah pegang hp.  Dia sendiri bilang, hp dipake’ hanya untuk di rumah, karena gantian sama kakaknya yang kelas tiga.”  Tiara mengajukan keberatan.  Betul juga.  Sms tadi terkirim pada jam istirahat, sedang Bastian baru akan bermain dengan hp saat sore atau malam hari.  Tersangka kedua kembali ditolak.

            Bagaimana dengan Vino?  Anak ini selalu menjadi sainganku dalam hal prestasi akademik.  Sayangnya, ia tak pernah bisa menyusul peringkatku, selalu terpaut satu angka di bawah.  Mungkin saja dia iri dan bermaksud mengerjaiku dengan sms misteriusnya.  Ah, tapi tipe study oriented semacam Vino, apa iya seiseng itu?  Belum sempat aku mengusulkan nama ini, bel berdering-dering kencang.  Istirahat telah usai.

***

            Selama beberapa hari setelah siang itu, kami tak lagi sibuk bermain terkaan, seakan lupa sudah dengan sms sok tau dari pengirim yang entah siapa.  Aku menganggapnya angin lalu.  Tetapi satu pekan kemudian aku kembali tersentak.  Sms itu datang lagi, dengan nada sok taunya yang lebih menjengkelkan.

            “Ketinggalan bis sekolah kok jadi hobi siiih??  Teledor amat jadi orang.  Emang kamu nggak bisa bangun lebih pagi apa?!”

Deretan umpatan telah aku ketik dan siap diluncurkan, namun urung aku menekan tombol send.  Aku tak mau terlihat kalah.  Biar saja mr. Misterius itu merasa bahwa aku sedikitpun tak terusik.  Biarlah dia tampil sebagai pihak yang kalah.

            Tapi sekuat apa aku berusaha untuk tak peduli, tetap saja hati kecil merasa terganggu.  Bagaimana seakan dia tahu tentang segala kejadian?  Apalagi beberapa sms setelahnya cukup membuat terngaga. 

            “Abis kepleset di kamar mandi ya?!  Kaya’ anak kecil aja!”

            “Ciyee, yang punya note book baru.”

            “Aduh-aduh, keasyikan nonton kartun sampe’ lupa ngasih kucing kesayangan makan?!  Penyiksaan itu namanya!”

            “Menurut ilmu pencernaan, teh manis itu untuk dialirkan ke kerongkongan, bukan buat ditumpahin di meja saat sarapan!”

            “Barusan ketemu kecengan?  Kenapa nggak disapa?  Malu ya?  Emangnya nggak punya hidung?”

Hei!  Siapa orang ini?  Keterlaluan!  Sungguh telah lancang memasuki kehidupan pribadiku.  Pastilah dia memata-matai.  Oh aku tau, gelar mr. Mata-mata lebih pas rasanya.

            “Gimana dong.  Aku males nih.  Apa-apa dikomentarin.”  Kepada dua karibku aku kembali mengadu.

            Sunyi.  Masing-masing terpekur dalam pikiran serius, hendak mencari solusi jitu.  Marsya telah lebih dulu meluncurkan penyelidikan, meski hasilnya nihil.  Namun kerja kerasnya mengekori Bastian patut aku hargai.  Entah mengapa, seakan punya dendam pribadi, Marsya tetap kukuh menjadikan Bastian sebagai tersangka.  Ia rela bermain kucing-kucingan, memata-matai aktivitas Bastian selepas jam sekolah.  Namun dari hasil laporannya, tak satupun bukti menjurus kepada cowok petakilan berambut nyaris keribo itu.  Info yang aku dapatkan justru melahirkan simpati.  Bastian ternyata anak yang berbakti dan suka membantu orangtua.  Sungguh di luar praduga.

            Beberapa tersangka baru pun telah pula satu demi satu diselidiki, tapi masih jauh dari bukti otentik.  Sudah nyaris sebulan kami bermain detektif-detektifan.  Hobi membaca detektif conan ternyata tak banyak membantu.  Aku malah seperti siswi kurang kerjaan, meneliti hal remeh yang ternyata hanya berakhir sia-sia.  Kami lelah dan rasanya ingin mengibarkan bendera putih.  Tapi sms demi sms terus saja meluncur tanpa perasaan.  Membuat geram saja.

            Satu-satunya jalan yang belum aku tempuh adalah bertanya langsung kepada sang pelempar sms.  Sepertinya ini jalur terakhir, setelah semua usaha tak juga menampakkan hasil.  Baiklah, akan kutempuh, meski belum pasti akan sesuai harapan.

            “Akhirnya dibales juga, he he.  Mau tau aja atau mau tau banget?”

Balasan yang membuat jemari bergetar, kesal.  Ingin rasanya kuberondong lagi dengan cacian yang lebih menyakitkan.  Tapi pada akhirnya, yang terkirim hanyalah sebaris kalimat santun, setidaknya menurutku.

            “Kamu tau dari mana semua kejadian tentang aku??!  Kamu ngikutin aku ya!”

            “Hei nona, perlu diketahui, aku terhitung manusia sibuk.  Nggak ada waktu buat sekadar ngikutin situ ke sana-sini.”

Sibuk katanya?  Lalu mengirim sms hampir setiap saat apa tak menyita waktu.  Jika saja ada di depan mata, telah kutarik leher bajunya, kuputar-putar, lalu kulempar hingga menembus langit-langit.  Tak peduli sadis, yang penting amarah tersalurkan.  Oh tidak, aku terlalu banyak mengkhatamkan komik antagonis.  Meski dongkol, tapi masih kubalas juga pesannya.  Kepalang tanggung.

            “Terus?  Tahu dari mana??!”

            “Tak perlu memancing, ikan datang dengan sendirinya.  Tak perlu mencari tahu, informasi terpampang dengan suka rela.  Coba teliti, kepada siapa saja kamu bercerita?  Dari salah satunya aku dapatkan segala apa yang ingin aku tahu.  Bahkan hal-hal yang sebenarnya tak perlu aku ketahui.”

            Perlahan kucerna rangkaian kalimat yang kali ini cukup panjang.  Butuh beberapa kali aku membaca ulang.  Obrolan berbalas ini belum aku sampaikan kepada Marsya dan Tiara, karena ide ini sempat mendapat penolakan tegas dari Tiara.  Menurutnya, bertanya langsung kepada mr. Mata-mata sama saja dengan menyerah.  Sendirian aku coba menelisik makna dari balasan sms terakhir tadi.

            Kepada siapa?  Aku hanya bercerita kepada dua karib saja.  Tapi siapa di antara mereka berdua yang tega berbuat usil semacam ini??  Lalu siapa pula sebenarnya sang mr. Mata-mata? Saudara dari salah satu di antara dua sahabatku kah?  Kelelahan beranalisis selama ini akhirnya bermuara pada satu kecurigaan.  Satu di antara mereka telah iseng.  Iseng yang sungguh keterlaluan.

***

            “Lis, ke ITC yuk!  Ketemuan di perapatan deket sekolah ya.”

Kuacuhkan sms Marsya.  Pasti anak itu sedang bersama Tiara.  Sudah beberapa hari ini, aku sengaja pulang sekolah sendirian.  Entah mengapa kecurigaanku rasanya kian menguat.  Dan kini, aku membungkam, tak hendak membuka cerita mengenai apapun.  Aku yakin mr. Mata-mata akan kehilangan bahan.  Sumber informasinya pun kini tak lagi bisa membagi berita.

            Apa maksud salah-satu dari sahabatku berbuat tak patut, mengerjai hingga aku lelah memelihara prasangka.  Nyaris seluruh penghuni kelas pernah masuk dalam daftar tersangka.  Fokus belajar pun terpaksa aku bagi, demi menguak kasus yang sempat membuat demikian risih.  Aku membayangkan betapa bahagianya sang pembuat onar, saat melihat aku berhasil masuk dalam jebakkannya.  Apalah lagi jika pembuat masalah ini ternyata begitu rapat jaraknya dengan keseharianku.  Ah, pasti mereka ingin prestasiku melorot jauh.

            Ya ampun, su’udzonku keterlaluankah?  Tapi rasanya masuk akal.  Atau malah justru keduanya terlibat, bersekongkol.  Kutepis pikiran buruk yang kian parah, dengan mulai menjelajah melalui layar android.  Seperti biasa, jejaring sosial menjadi awal penjelajahan yang wajib aku telusuri.

            “Hei, jangan berkurung dalam kamar aja.  Tar jamuran lho!”

Hah!  Setelah beberapa hari raib, sms misterius kini kembali.  Belum sempat aku menutup sms, sebuah pesan segera mengikuti,

            “Bokap nyokap liburan ke Bali?  Kasian deh nggak diajak.”

Kasus ini kian membuatku tak nyaman.  Sepertinya aku harus mengkaji ulang tuduhan kepada dua sahabatku.  Rasanya belum sempat aku menceritakan masalah ini kepada siapapun, termasuk juga kepada Marsya dan Tiara.  Dari mana mr. Mata-mata tahu bahwa saat ini aku sendirian, ditinggal oleh kedua orangtua yang berangkat ke Bali?  Jangan-jangan benar aku dimata-matai.  Mungkin orang ini justru tengah mengintai, tak jauh dari sekitaran tempat aku berdiam.  Oh Tuhan, lindungi aku dari segala tindak kejahatan.

            “Nggak usah bingung, non.  Kan aku pernah bilang, aku tahu dari salah satu sumber, tanpa harus menguntit ke manapun kamu pergi.”

Sekarang, dari mana dia tahu bahwa aku sedang kebingungan.  Aku merinding, membayangkan penyekapan gadis di dalam rumah sepi, diperkosa, lalu di bunuh dengan sadis.  Mendadak sekeliling kamar menjadi horor.  Aduh, kebiasaan membaca komik detektif semakin melambungkan imajinasi.

            “Prang!!”

Astaga, apa itu?  Sumber suara sepertinya bermula dari dapur.  Meski ciut, namun aku beranjak perlahan.  Mulut komat-kamit melafal doa, mata mawas mengawasi seluruh penjuru.  Aku baru menyadari bahwa saat sepi rumah ini ternyata sungguh menakutkan.  Detak jam sebesar lemari yang bercokol di ruang keluarga, serasa mengetuk-ngetuk gendang telinga.

            “Aaargg!  Astaghfirullah, Ciko!  Ngagetin aja!”  Huffh, baru ingat aku bahwa ada penghuni lain di sini.  Ciko, kucing hitam putih yang telah aku pelihara sejak hampir satu tahun.  Lagi-lagi aku lupa memberinya makan, hingga hewan manis itu protes dan nekat merangkak naik ke atas meja.  Miris aku menatap pecahan piring yang kini berserakan di sekitaran meja makan.

            Setelah membereskan pecahan beling dan tuntas memanjakan Ciko dengan makanan kesukaannya, aku kembali mengkerut dalam kamar, lalu asyik menjelajah lagi bersama android.

            “Ini kali yang keberapa kamu lupa ngasih kucing makan?  Kalo aku jadi kucingnya sih, mending kabur aja, cari tuan baru.”

            Permainan ini sudah keterlaluan.  Meminta mama untuk segera pulang?  Rasanya tidak akan mungkin selama urusan di sana masih belum selesai, sedang masalah ini pasti hanya akan dianggap remeh.  Apa aku minta Marsya dan Tiara kemari?  Ah, biasanya memang mereka yang setia menemani saat orang tuaku harus berpergian dalam dinas luar kota.  Kini aku sendiri, dan benar-benar dalam ketakutan.

            “Bisa nggak sih, nggak ngepoin terus??!”  Dengan keberanian yang dibuat, aku coba membalas kembali pesan singkat tadi.  Lama tidak ada jawaban.  Aku tetap waspada.  Kini seisi ruangan menjadi sangat mistis.  Aku menanti balasan dalam harap cemas dan ketakutan.

            “Siapa yang ngepoin?  Kan kamu sendiri yang sukarela bercerita.  Aku dapet berita dari tempat curhat kamu.”

            “Ngaco!  Kamu sendiri tahu aku sendirian.  Beberapa kejadian yang tadi kamu bilang, belum aku ceritain ke siapapun.”

Sepi lagi.  Pasti dia butuh mencari alasan yang lebih masuk akal.  Lima belas menit berlalu, barulah sebuah pesan singkat kembali menghampiri hpku.

            “Yakin belum cerita??  Bukannya setiap selesai satu kejadian, kamu langsung curhat.  Inget-inget lagi deh.  Bukankah teman curhat itu tak selalu berwujud manusia?”

Apa?  Semakin gila saja.  Apa aku senelangsa itu, hingga harus ngobrol sama makhluk lain.  Siapa?  Hanya ada Ciko yang juga jarang aku ajak berbincang.  Makhluk ghaib?  Ih, amit-amit.

            Kini, meski dalam pusing yang bertambah-tambah, keberanianku mulai stabil.  Mondar-mandir aku di dalam kamar, mencoba memecahkan teka-teki.  Mengapa dia begitu yakin bahwa aku sendiri yang telah bercerita kepada seseorang, eh, entah seseorang atau sesuatu, atau apapun.  Sementara aku begitu pasti bahwa belum sekelumit berita pun keluar dari kamar ini.  Apa?  Siapa?  Ah, Shinichi Kudo alias Conan Edogawa, bantu aku menuntaskan kasus ini. 

Tumpukan komik Detektif Conan menggoda untuk kembali ‘bermain’.  Kubuka saja secara acak salah-satu komik.  Mungkin aku harus menelaah bahasa smsnya.  Sepertinya ini akan seru.  Baiklah, permainan dimulai. 

Sebelumnya, seperti biasa aku meraih terlebih dahulu androidku, berselanjar ke dunia maya, menuju jejaring sosial, dan membuat update-an terbaru.

“Detektif Delisa, siap beraksi.  Dengar ya pengacau, aku tak akan pernah takut lagi!!”  Sebuah status  muncul di beranda.  Kali ini pasti akan mengundang banyak komentar.  Eh tungguh!  Aku tersentak, teringat akan sesuatu.  Kuteliti lagi kiriman sms terakhir.

“...Bukannya setiap selesai satu kejadian, kamu langsung curhat....”  Bagian ini rasanya menjadi kunci.  Setiap kejadian, langsung curhat.  Setiap kejadian, langsung tulis.  Ah, FACEBOOK!  Mengapa aku baru menyadari, bahwa selama ini aku memang sukarela berbagi cerita, segala pengalaman, kepada seluruh dunia.  Pantas jika semua orang tahu.  Astaga, bodohnya.  Hampir satu bulan tersita untuk memikirkan satu kasus, yang sebenarnya sama sekali tidak penting.  Oh Tuhan, entahlah setelah ini aku akan bisa tidur nyenyak, atau justru harus frustasi menahan malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih

Memeluk Kenangan

Saat aku mencoba melupakan namun gagal, Saat itulah aku memutuskan untuk berhenti melupakan. Berdamai. Merangkai kisah dalam ...