"Telat lagi?? Makanya, baca komik jangan sampe’ malem. Kesiangan deh tuh!”
Glekk. Baso yang belum terkunyah sempurna nyaris
melesat masuk ke kerongkongan. Dari
nomornya aku tak kenal. Siapa yang
mengirim sms iseng begini?
“Paling temen kelas kita.” Tiara berkomentar.
“Kalo nggak, fans rahasia.” Marsya tak mau kalah.
Entah
siapa, awalnya tak begitu aku pedulikan.
Tapi pada akhirnya kami sibuk menerka sembari bercanda, lalu diikuti
tawaan cuek. Seolah kini kami punya
mainan baru.
Tebakan pertama jatuh pada Arifin. Cowok culun, berkacamata minus, dan selalu
membawa bekal dari rumah. Rumornya,
siswa kutu buku ini memang diam-diam sering mencari informasi apa saja terkait
dengan kepribadianku. Tapi jika melihat
pembawaannya yang polos, juga jemarinya yang selalu bergetar saat akan
berbincang langsung denganku, rasanya mustahil dia berani mengirimkan sms
tadi. Kuteliti lagi gaya bahasa sms yang
cenderung berani. Pastilah bukan dari
orang bertipe seperti Arifin.
Marsya mengetuk-mengetukkan jemari di atas meja, tampak berfikir. Sepertinya ia tengah bersiap meluncurkan tersangka nomor dua.
“Bastian!!” Suara alto Marsya cukup membuat seantero
pengunjung kantin mencuri pandang. Aku
dan Tiara kompak ber-sstt ria sambil menebar senyum kanan kiri, sebagai pertanda
bahwa tidak ada masalah. Hening beberapa
detik. Tiara memajukan bibirnya,
melakukan analisis. Matanya
melirik-lirik lucu, di tambah lagi jari telunjuk kanannya terangkat ke atas,
menambah ekspresi geli dari gadis yang hobinya berkepang dua ini. Sementara Marsya kini tampak membetulkan
kerudung yang sejatinya baik-baik saja, sambil berkaca di etalase makanan
kantin yang kebetulan terletak persis di samping kursi kami duduk. Cewek campuran Minang Sunda ini baru seminggu
yang lalu memutuskan untuk berkerudung, masih canggung.
Bastian memang petakilan dan suka
iseng. Tak terhitung bilangan jari ia
pernah mengusiliku di kelas.
Menyembunyikan buku tugas, mencoret alas duduk dengan kapur, menyimpan
ular karet di laci meja, dan yang paling mengesalkan adalah saat ia menempelkan
kertas bertuliskan ‘SAYA MAHKLUK LUAR ANGKASA’ di punggungku, tepat ketika aku
bertugas menjadi pembawa bendera di lapangan sekolah. Dan bodohnya, saat sontak seluruh peserta
tertawa, aku malah menangis bak anak TK.
Memalukan. Pastilah Bastian
merasa menang saat itu. Baiklah, usulan
‘tersangka’ dari Marsya sementara bisa diterima.
“Tapi Bastian kan nggak pernah
pegang hp. Dia sendiri bilang, hp
dipake’ hanya untuk di rumah, karena gantian sama kakaknya yang kelas tiga.” Tiara mengajukan keberatan. Betul juga.
Sms tadi terkirim pada jam istirahat, sedang Bastian baru akan bermain
dengan hp saat sore atau malam hari.
Tersangka kedua kembali ditolak.
Bagaimana dengan Vino? Anak ini selalu menjadi sainganku dalam hal
prestasi akademik. Sayangnya, ia tak
pernah bisa menyusul peringkatku, selalu terpaut satu angka di bawah. Mungkin saja dia iri dan bermaksud
mengerjaiku dengan sms misteriusnya. Ah,
tapi tipe study oriented semacam Vino, apa iya seiseng itu? Belum sempat aku mengusulkan nama ini, bel
berdering-dering kencang. Istirahat
telah usai.
***
Selama beberapa hari setelah siang
itu, kami tak lagi sibuk bermain terkaan, seakan lupa sudah dengan sms sok tau
dari pengirim yang entah siapa. Aku menganggapnya
angin lalu. Tetapi satu pekan kemudian
aku kembali tersentak. Sms itu datang
lagi, dengan nada sok taunya yang lebih menjengkelkan.
“Ketinggalan bis sekolah kok jadi
hobi siiih?? Teledor amat jadi
orang. Emang kamu nggak bisa bangun
lebih pagi apa?!”
Deretan
umpatan telah aku ketik dan siap diluncurkan, namun urung aku menekan tombol send. Aku tak mau terlihat kalah. Biar saja mr. Misterius itu merasa bahwa aku
sedikitpun tak terusik. Biarlah dia
tampil sebagai pihak yang kalah.
Tapi sekuat apa aku berusaha untuk
tak peduli, tetap saja hati kecil merasa terganggu. Bagaimana seakan dia tahu tentang segala
kejadian? Apalagi beberapa sms
setelahnya cukup membuat terngaga.
“Abis kepleset di kamar mandi
ya?! Kaya’ anak kecil aja!”
“Ciyee,
yang punya note book baru.”
“Aduh-aduh,
keasyikan nonton kartun sampe’ lupa ngasih kucing kesayangan makan?! Penyiksaan itu namanya!”
“Menurut
ilmu pencernaan, teh manis itu untuk dialirkan ke kerongkongan, bukan buat
ditumpahin di meja saat sarapan!”
“Barusan
ketemu kecengan? Kenapa nggak disapa? Malu ya?
Emangnya nggak punya hidung?”
Hei! Siapa orang ini? Keterlaluan!
Sungguh telah lancang memasuki kehidupan pribadiku. Pastilah dia memata-matai. Oh aku tau, gelar mr. Mata-mata lebih pas rasanya.
“Gimana dong. Aku males nih. Apa-apa dikomentarin.” Kepada dua karibku aku kembali mengadu.
Sunyi. Masing-masing terpekur dalam pikiran serius, hendak
mencari solusi jitu. Marsya telah lebih
dulu meluncurkan penyelidikan, meski hasilnya nihil. Namun kerja kerasnya mengekori Bastian patut
aku hargai. Entah mengapa, seakan punya
dendam pribadi, Marsya tetap kukuh menjadikan Bastian sebagai tersangka. Ia rela bermain kucing-kucingan, memata-matai
aktivitas Bastian selepas jam sekolah.
Namun dari hasil laporannya, tak satupun bukti menjurus kepada cowok
petakilan berambut nyaris keribo itu.
Info yang aku dapatkan justru melahirkan simpati. Bastian ternyata anak yang berbakti dan suka
membantu orangtua. Sungguh di luar
praduga.
Beberapa tersangka baru pun telah
pula satu demi satu diselidiki, tapi masih jauh dari bukti otentik. Sudah nyaris sebulan kami bermain
detektif-detektifan. Hobi membaca
detektif conan ternyata tak banyak membantu.
Aku malah seperti siswi kurang kerjaan, meneliti hal remeh yang ternyata
hanya berakhir sia-sia. Kami lelah dan
rasanya ingin mengibarkan bendera putih.
Tapi sms demi sms terus saja meluncur tanpa perasaan. Membuat geram saja.
Satu-satunya jalan yang belum aku
tempuh adalah bertanya langsung kepada sang pelempar sms. Sepertinya ini jalur terakhir, setelah semua
usaha tak juga menampakkan hasil.
Baiklah, akan kutempuh, meski belum pasti akan sesuai harapan.
“Akhirnya dibales juga, he
he. Mau tau aja atau mau tau banget?”
Balasan
yang membuat jemari bergetar, kesal.
Ingin rasanya kuberondong lagi dengan cacian yang lebih
menyakitkan. Tapi pada akhirnya, yang
terkirim hanyalah sebaris kalimat santun, setidaknya menurutku.
“Kamu tau dari mana semua
kejadian tentang aku??! Kamu ngikutin
aku ya!”
“Hei nona,
perlu diketahui, aku terhitung manusia sibuk.
Nggak ada waktu buat sekadar ngikutin situ ke sana-sini.”
Sibuk
katanya? Lalu mengirim sms hampir setiap
saat apa tak menyita waktu. Jika saja
ada di depan mata, telah kutarik leher bajunya, kuputar-putar, lalu kulempar
hingga menembus langit-langit. Tak
peduli sadis, yang penting amarah tersalurkan.
Oh tidak, aku terlalu banyak mengkhatamkan komik antagonis. Meski dongkol, tapi masih kubalas juga
pesannya. Kepalang tanggung.
“Terus? Tahu dari mana??!”
“Tak
perlu memancing, ikan datang dengan sendirinya.
Tak perlu mencari tahu, informasi terpampang dengan suka rela. Coba teliti, kepada siapa saja kamu
bercerita? Dari salah satunya aku
dapatkan segala apa yang ingin aku tahu.
Bahkan hal-hal yang sebenarnya tak perlu aku ketahui.”
Perlahan kucerna rangkaian kalimat
yang kali ini cukup panjang. Butuh
beberapa kali aku membaca ulang. Obrolan
berbalas ini belum aku sampaikan kepada Marsya dan Tiara, karena ide ini sempat
mendapat penolakan tegas dari Tiara.
Menurutnya, bertanya langsung kepada mr. Mata-mata sama saja dengan
menyerah. Sendirian aku coba menelisik
makna dari balasan sms terakhir tadi.
Kepada siapa? Aku hanya bercerita kepada dua karib
saja. Tapi siapa di antara mereka berdua
yang tega berbuat usil semacam ini?? Lalu
siapa pula sebenarnya sang mr. Mata-mata? Saudara dari salah satu di antara dua
sahabatku kah? Kelelahan beranalisis
selama ini akhirnya bermuara pada satu kecurigaan. Satu di antara mereka telah iseng. Iseng yang sungguh keterlaluan.
***
“Lis, ke ITC yuk! Ketemuan di perapatan deket sekolah ya.”
Kuacuhkan
sms Marsya. Pasti anak itu sedang
bersama Tiara. Sudah beberapa hari ini,
aku sengaja pulang sekolah sendirian.
Entah mengapa kecurigaanku rasanya kian menguat. Dan kini, aku membungkam, tak hendak membuka
cerita mengenai apapun. Aku yakin mr.
Mata-mata akan kehilangan bahan. Sumber
informasinya pun kini tak lagi bisa membagi berita.
Apa maksud salah-satu dari sahabatku
berbuat tak patut, mengerjai hingga aku lelah memelihara prasangka. Nyaris seluruh penghuni kelas pernah masuk
dalam daftar tersangka. Fokus belajar
pun terpaksa aku bagi, demi menguak kasus yang sempat membuat demikian
risih. Aku membayangkan betapa
bahagianya sang pembuat onar, saat melihat aku berhasil masuk dalam
jebakkannya. Apalah lagi jika pembuat
masalah ini ternyata begitu rapat jaraknya dengan keseharianku. Ah, pasti mereka ingin prestasiku melorot jauh.
Ya ampun, su’udzonku
keterlaluankah? Tapi rasanya masuk
akal. Atau malah justru keduanya
terlibat, bersekongkol. Kutepis pikiran
buruk yang kian parah, dengan mulai menjelajah melalui layar android. Seperti biasa, jejaring sosial menjadi awal
penjelajahan yang wajib aku telusuri.
“Hei, jangan berkurung dalam
kamar aja. Tar jamuran lho!”
Hah! Setelah beberapa hari raib, sms misterius
kini kembali. Belum sempat aku menutup
sms, sebuah pesan segera mengikuti,
“Bokap nyokap liburan ke
Bali? Kasian deh nggak diajak.”
Kasus
ini kian membuatku tak nyaman.
Sepertinya aku harus mengkaji ulang tuduhan kepada dua sahabatku. Rasanya belum sempat aku menceritakan masalah
ini kepada siapapun, termasuk juga kepada Marsya dan Tiara. Dari mana mr. Mata-mata tahu bahwa saat ini
aku sendirian, ditinggal oleh kedua orangtua yang berangkat ke Bali? Jangan-jangan benar aku dimata-matai. Mungkin orang ini justru tengah mengintai,
tak jauh dari sekitaran tempat aku berdiam.
Oh Tuhan, lindungi aku dari segala tindak kejahatan.
“Nggak usah bingung, non. Kan aku pernah bilang, aku tahu dari salah
satu sumber, tanpa harus menguntit ke manapun kamu pergi.”
Sekarang,
dari mana dia tahu bahwa aku sedang kebingungan. Aku merinding, membayangkan penyekapan gadis
di dalam rumah sepi, diperkosa, lalu di bunuh dengan sadis. Mendadak sekeliling kamar menjadi horor. Aduh, kebiasaan membaca komik detektif
semakin melambungkan imajinasi.
“Prang!!”
Astaga,
apa itu? Sumber suara sepertinya bermula
dari dapur. Meski ciut, namun aku
beranjak perlahan. Mulut komat-kamit
melafal doa, mata mawas mengawasi seluruh penjuru. Aku baru menyadari bahwa saat sepi rumah ini ternyata
sungguh menakutkan. Detak jam sebesar
lemari yang bercokol di ruang keluarga, serasa mengetuk-ngetuk gendang telinga.
“Aaargg! Astaghfirullah, Ciko! Ngagetin aja!” Huffh, baru ingat aku bahwa ada penghuni lain
di sini. Ciko, kucing hitam putih yang
telah aku pelihara sejak hampir satu tahun.
Lagi-lagi aku lupa memberinya makan, hingga hewan manis itu protes dan
nekat merangkak naik ke atas meja. Miris
aku menatap pecahan piring yang kini berserakan di sekitaran meja makan.
Setelah membereskan pecahan beling
dan tuntas memanjakan Ciko dengan makanan kesukaannya, aku kembali mengkerut
dalam kamar, lalu asyik menjelajah lagi bersama android.
“Ini kali yang keberapa kamu lupa
ngasih kucing makan? Kalo aku jadi
kucingnya sih, mending kabur aja, cari tuan baru.”
Permainan ini sudah
keterlaluan. Meminta mama untuk segera
pulang? Rasanya tidak akan mungkin
selama urusan di sana masih belum selesai, sedang masalah ini pasti hanya akan
dianggap remeh. Apa aku minta Marsya dan
Tiara kemari? Ah, biasanya memang mereka
yang setia menemani saat orang tuaku harus berpergian dalam dinas luar kota. Kini aku sendiri, dan benar-benar dalam
ketakutan.
“Bisa nggak sih, nggak ngepoin
terus??!” Dengan keberanian yang
dibuat, aku coba membalas kembali pesan singkat tadi. Lama tidak ada jawaban. Aku tetap waspada. Kini seisi ruangan menjadi sangat mistis. Aku menanti balasan dalam harap cemas dan
ketakutan.
“Siapa yang ngepoin? Kan kamu sendiri yang sukarela
bercerita. Aku dapet berita dari tempat
curhat kamu.”
“Ngaco! Kamu sendiri tahu aku sendirian. Beberapa kejadian yang tadi kamu bilang,
belum aku ceritain ke siapapun.”
Sepi
lagi. Pasti dia butuh mencari alasan
yang lebih masuk akal. Lima belas menit
berlalu, barulah sebuah pesan singkat kembali menghampiri hpku.
“Yakin belum cerita?? Bukannya setiap selesai satu kejadian, kamu
langsung curhat. Inget-inget lagi
deh. Bukankah teman curhat itu tak selalu
berwujud manusia?”
Apa? Semakin gila saja. Apa aku senelangsa itu, hingga harus ngobrol
sama makhluk lain. Siapa? Hanya ada Ciko yang juga jarang aku ajak
berbincang. Makhluk ghaib? Ih, amit-amit.
Kini, meski dalam pusing yang
bertambah-tambah, keberanianku mulai stabil.
Mondar-mandir aku di dalam kamar, mencoba memecahkan teka-teki. Mengapa dia begitu yakin bahwa aku sendiri
yang telah bercerita kepada seseorang, eh, entah seseorang atau sesuatu, atau
apapun. Sementara aku begitu pasti bahwa
belum sekelumit berita pun keluar dari kamar ini. Apa?
Siapa? Ah, Shinichi Kudo alias
Conan Edogawa, bantu aku menuntaskan kasus ini.
Tumpukan komik Detektif Conan menggoda
untuk kembali ‘bermain’. Kubuka saja
secara acak salah-satu komik. Mungkin
aku harus menelaah bahasa smsnya.
Sepertinya ini akan seru. Baiklah,
permainan dimulai.
Sebelumnya, seperti biasa aku meraih
terlebih dahulu androidku, berselanjar ke dunia maya, menuju jejaring sosial,
dan membuat update-an terbaru.
“Detektif Delisa, siap beraksi. Dengar ya pengacau, aku tak akan pernah takut
lagi!!”
Sebuah status muncul di
beranda. Kali ini pasti akan mengundang
banyak komentar. Eh tungguh! Aku tersentak, teringat akan sesuatu. Kuteliti lagi kiriman sms terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih