06 Mei 2014

PRIA KESEPIAN

                Aku sunyi.  Parah!  Mengapa tiada barang satu dua orang teman?  Apa akan begini hingga tarikan nafas pamungkas?  Hhh!  Dengarlah, aku perlu bersuara.  Gigi yang tersimpan dalam rongga mulut pun mulai kering, tersebab lama bersembunyi.

            Kau mungkin mengira aku terpenjara dalam ruang pengap, tanpa kehidupan.  Atau boleh jadi kau menyangka aku tengah terlempar ke planet antah barantah yang belum lagi berpenghuni.  Salah!  Sandiwara yang kulakoni jauh lebih mengerikan.  Aku bernafas di antara jutaan manusia yang tiap saat berganti, hilir mudik entah menyibukkan apa.  Di tengah mereka aku mengeja waktu, detik demi detik.  Yah, aku hidup di bumi, bahkan di tengah kota besar yang penduduknya kian membludak.  Tapi mengapa di tengah ramai insan justru aku mengecap tragisnya kesunyian?  Entah.

***     

                 Mentari pagi menyilaukan tatapan.  Di taman ini, tempat aku meratapi nasib, kupandangi dua manusia tengah sibuk berbincang.  Kadang antusias, kadang tergelak.  Nikmat pasti rasanya berpartner seperti itu.  Tak penuh mungkin isi kepala karena sempat dibagi.

Kuberanikan mengarah langkah, mengambil jarak sekian meter.  Siapa tahu aku boleh ikut berbincang.  Mungkin satu dari mereka tertarik mendengar kisahku.  Bukankah aku punya banyak cerita menarik.

 Tapi belum lagi aku melepas beban tubuh pada bangku di samping mereka, seorang dari dua lelaki itu menatap tajam.  Sorot matanya menyiratkan ia tak suka.  Maaf.  Aku pasti mengusik keakraban itu.  Cepat ku memulai mengambil aksi untuk menjauh.  Aku cukup tahu diri.

Dari kejauhan, samar masih kudengar mereka kembali bercerita.  Hhh!  Kurasa aku memang tak pandai bergaul.  Kadang kuperhatikan manusia yang tak saling kenal, hanya karena satu dua pertanyaan tiba-tiba menjadi akrab bak kawan lama.  Mereka akan berkisah bagai dua karib yang telah saling memahami.  Pura-pura bertanya, sok kenal.  Hhm, boleh kuuji trik itu. 

            Gaduh rokok, Neng?[1]  Kepada gadis manis berkerudung yang melintas aku bertanya sok akrab.  Tanpa bersuara, ia terbirit memacu langkah.

            "Neng, punya rokok?"  Mungkin bukan penduduk asli, tak mengerti bahasa lokal.  Kembali kunanti suaranya.  Tapi gagal, tetap ia bungkam, kian menjauh.

            Ah, lagi-lagi sorot tak wajar.  Sayangnya aku belum cukup lihai memaknai tatapan itu.  Tapi di mana letak salahnya, hingga bincang yang kumulai bahkan menguap tanpa balasan.  Oww, menanyakan rokok pada wanita berjilbab.  Bodoh.  Kuakui tadi kelewat gugup dalam menabur kata, hingga kalimat itu mengumbar begitu saja.

            Sebegitu lamakah aku terlempar dari dunia interaksi, hingga sekadar mengawali perbincangan pun aku linglung.  Mereka manusia, sama-sama manusia.  Tapi kapan terakhir aku bercakap dua arah?  Terlalu lama terlampaui memang.  Hhh, baik, akan kupelajari.  Biar kulatih suara yang lama tak menggema.  Lain kali harus kuhindari kesalahan yang sama.  Aku tak boleh lagi salah sasaran.

            “Ehm..., ehem!”  Berat kerongkonganku mengalirkan bunyi.  Sedikit kupaksa hingga volumenya meninggi.  Mungkin tadi suaraku terlampau rendah, hingga angin berhasil menggerusnya.

            “Ehem!  Ehm..., apa kabar, Kang?”  Ah, aneh.  Bagaimana kalau, “Mau ke mana, Mang?”  Atau “Neng, siapa namanya?”  Aku terus berlatih hingga baru menyadari bahwa mendadak taman ini mengundang senyap.  Rasanya tadi banyak makhluk berkeliaran.  Ke mana langkah menggiring mereka?  Sudahlah.  Kucoba lagi besok.  Kini saatnya aku memenuhi lambung yang mulai ribut menuntut haknya.  Matahari meninggi.  Aku beranjak meninggalkan taman kota.

***

            Maneh[2] cuma anak pungut, paviliun juga cukup.”  Lelaki 40 tahunan yang baru datang tadi malam tiba-tiba telah menggenggam kendali.  Padahal bilangan tahun entah apa kesibukkannya.  Bahkan tujuh tahun terakhir, bisa dihitung jari langkah kakinya mengecap rumah abah.

“Iya, segitu juga syukur dibagi.”  Wanita yang tak lain adik sang lelaki menimpali.  Hampir sama, ia pun nyaris tak pernah kelihatan batang hidungnya kecuali saat lebaran.  Di dekat mereka pun berdiri dua menantu abah dengan tabiat yang sama.

            Ah, abah malang.  Punya anak kandung tapi bagai tak punya keturunan.  Masa tua disia-siakan.  Aku yang semasa SD sempat dipelihara merasa wajib mengganjar budi, merawat dan menemani sepi hidupnya.

            “Abah kan nggak nulis surat warisan.  Jadi perhitungan tetap sebagaimana aturan yang berlaku.”  Suara lelaki itu meninggi.  Entah apa isi otak mereka saat datang kabar kematian abah.  Warisan, rumah abah, sawah.  Kasihan abah.  Seolah kepergiaannya memang lama telah dinanti.

            “Tapi yang ngurus abah selama ini siapa?”  Aku berang.  Bukan, bukan hendak menagih balas jasa.  Aku hanya geram menyaksikan tingkah empat manusia yang dulu seakan jijik mendatangi rumah abah, tapi kini sibuk memperebutkan hak atas bangunan ini.

            “Paviliun itu jatahmu.  Kalo nggak mau, ya sudah.  Silahkan keluar.”  Tak ada kompromi, tak dapat dinegosiasi.  Mata empat saudara itu nyalang menatap penuh benci.

            “Aku pergi.”  Keputusanku akhirnya.  Emosi membuat kepala tak lagi jernih memilih jawaban.  Mana bisa aku hidup bersama mereka.  Pasti akan serupa pesuruh rendahan aku dibuatnya.

            “Bagus.  Silahkan.”  Kompak senyum sinis mereka mengantarku hingga meninggalkan pagar.  Tak banyak yang kubawa, kecuali baju di badan dan sedikit lembaran dalam dompet.  Abah, maaf, aku tak punya daya mempertahankan rumah itu.  Entahlah jadi apa dibuatnya nanti.  Mungkin akan dirobohkan, lalu dibangun tempat kumpul tak jelas.  Kutinggalkan kawasan itu.  Semakin jauh, kian menjarak.

            “Kruuk..., kruuk”  Aku tersentak dari melamunkan sekerat kenangan yang masih tersisa di kepala, saat perutku mengalirkan irama yang sudah kupahami maknanya.  Belum kutemukan sekadar pengganjal perut.  Aku terus menyeret langkah mendekati warung nasi sederhana.  Kukais tempat sampah, berharap ada sisa pengisi perut pelanggan yang terlempar ke sana.  Jijik?  Tidak kawan, sudah biasa.  Empat tahun aku luntang-lantung di jalan.  Ah, empat, lima, atau mungkin enam tahun.  Tak tahulah, aku tak pernah menghitung hari.  Yang kutahu lama aku menjadi pengais sisa makanan.  Aku tak terbiasa mencuri.  Abah selalu mengajariku etika.  Biarlah aku mengambil apa yang memang tak lagi mereka butuhkan.

            “Pergi!  Bikin kotor wae[3]!”  Satu suara membuatku spontan membalik badan.

            Aya naon?[4]  Satu sosok lain datang.

            Ieu, aya nu ngacak-ngacak sampah[5].  Sebel atuh, bikin berantakan.”  Tegasnya dengan tatapan menikam.

            “Makan, makan.”  Hanya itu yang kukeluarkan sebagai pembelaan.

            “Makan??  Ini teh tempat sampah.  Bukan tempat makanan!  Ah, jangan-jangan maling.”  Ucapnya menuduh.  Aku terlalu takut berhadapan dengan manusia semacam ini.  Rasanya serupa monster yang akan melumat tubuhku.  Cepat aku berlalu, meninggalkan segala ocehan yang hingga jauh masih jelas terdengar.  Kucari saja tempat sampah yang lain.

***

            Siang ini perutku tak lagi berontak, setelah tadi kutemukan bungkus makanan yang masih setengah isi.  Aku tak perlu makan tiga kali sehari.  Satu kali cukup.  Bahkan dua atau tiga kali sehari pun sering.  Tapi aku sehat, meski kadang puncak lapar menggetarkan sendi lututku.  Aku pun tak perlu makanan yang tersaji rapi dalam piring melamin.

            Pakaian tak kubutuhkan yang baru.  Cukup bagiku selama aurat tertutup, meski kumal dan berbau.  Toh tak lagi peka hidungku oleh bau busuk.  Apalah lagi tempat tinggal.  Tak usah rumah megah nan bertingkat.  Saat merasa lelah, di mana pun aku akan pulas, meski berbalut dingin dan terkadang basah oleh hujan.

            “Mau ke mana, Neng?”  Kusapa gadis berkulit sawo matang.  Ia menatap bingung lalu berbalik arah.

            “Hei, Neng.  Mau ke mana?  Ke mana?”  Lama tak bercakap membuat kosa-kataku kian menipis.  Setengah teriak aku memanggil.  Namun ia terlalu jauh, tak lagi mungkin mendengar.

            Lalu seorang lelaki separuh baya melintas.  Aha, lupakan wanita tadi.  Mungkin bapak ini mau diajak berbincang.

            “Pak, mau pulang?”  Aku mengeluarkan suara.  Ia menatap sekilas, lalu melenggang cuek.

            “Pak, pulang ke mana?”  Rasanya suaraku makin layak didengar.  Lagi pula lelaki itu tak berlari.  Langkahnya masih wajar.

            “Pak?”  Kunaikkan volume.  Namun ia hanya melayangkan senyum sinis sambil terus melangkah santai.  Ingin rasanya kukejar, tapi aku terlalu malu.

            Banyak sudah insan kuajak bicara.  Tak satu pun meladeni.  Mengapa tak ada yang sudi kujadikan teman berbincang?  Aku hanya hendak berbagi sedikit beban pikiran.  Aku lelah mengulum diam.  Semakin kaku nanti lidahku.  Aku harus bicara.  Aku mohon sudilah mendengar suaraku.

***

            Nuju naon, Kang?”[6] Sosok wanita keibuan, berbalut kerudung putih tiba-tiba telah duduk di sampingku.  Wajahnya bersinar laksana bulan.  Tidak kawan, aku tidak berlebihan, memang demikian menakjubkan wanita ini.  Ia tak jijik berada dalam jarak dekat dengan posisiku.

            “Akang udah makan?”  Bibirnya mengumbar senyum.  Luar biasa.

            “Eh, iya, eh, sudah, eh, belum.”  Gugup.  Kata apa yang pantas kulayangkan untuk berbincang dengan wanita secantik ini?  Bajunya rapi dan bersih.  Bahkan harum tubuhnya mampu mengalahkan aroma badanku.

            “Neng siapa?  Mau ke mana?”  Akhirnya berhasil juga kulontar rangkaian kata, meski kaku.

            “Saya mau duduk aja di taman, menemani Akang.  Saya lihat tiap hari Akang duduk di sini.”

            “Oh, iya.  Saya memang tiap hari ke sini.”  Aku tersanjung.

Tiga orang wanita melintas.  Segera kusapa mereka untuk turut berbincang.

“Ayo sini, ikutan ngobrol.”  Aku semakin percaya diri.  Toh kini aku tak sendirian.  Namun tiga wanita tadi tersenyum mengejek lalu menjauh.  Ya sudah, satu teman ngobrol pun cukup bagiku.

            “Apa yang Akang cari di sini?”  Wanita di sampingku menatap lembut, begitu akrab dan bersahabat.

            “Cari temen ngobrol aja.”  Tersipu aku membalas senyum manisnya.

            “Ya udah.  Saya aja jadi temen ngobrolnya.  Boleh?”

            “Boleh banget atuh, Neng.  Seneng malah.”  Aku girang, tertawa riang.

            Lama kami larut dalam obrolan, hingga tiba-tiba segerombolan anak kecil datang.  Aku masih hanyut tanpa peduli akan hadir mereka.

            “Lihat orang itu.  Aneh.”  Seorang anak lelaki bersuara.      

Kadie, Jang[7].  Hayu’ ikutan ngobrol.”  Akhirnya kusapa, demi menyadari tatapannya mengarah padaku.

            “Hahaha!”  Lima anak lain tergelak.

            “Tuh, kamu diajakin ngobrol!”  Kali ini gadis kecil berkuncir kuda menimpali.

            “Hahaha, ada orang ngomong sendiri!”  Kalimat terakhir cukup menyentak.  Kusadari tatap mereka menuju padaku.

            Ngomong sendiri??  Nggak liat ada tante cantik?”  Kukeraskan suara kesal.

            “Hahaha!”  Mereka melayangkan tawa, nikmat, kompak.

            “Orang gila, orang gila.”  Entah siapa yang mengomandoi, tiba-tiba satu kalimat berulang dalam irama teratur.  Ah, apa ada orang gila?  Sudahlah, lupakan saja.  Aku kembali asyik berbincang.  Memang hanya wanita ini yang sudi mendengar kesahku.  Ia saja yang sanggup mengatakan bahwa aku masih manusia.  Aku hanyut.  Tak kuhiraukan lagi berisik suara koor yang kian menggema.


[1] Punya rokok, Neng?

[2] Kamu

[3] Saja

[4] Ada apa?

[5] Ini, ada yang mengacak-acak sampah

[6] Sedang apa, Kang?

[7] Ke sini, Jang (Jang=panggilan untuk anak laki-laki dalam Bahasa Sunda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih

Memeluk Kenangan

Saat aku mencoba melupakan namun gagal, Saat itulah aku memutuskan untuk berhenti melupakan. Berdamai. Merangkai kisah dalam ...