Aku sunyi. Parah! Mengapa tiada barang satu dua orang teman? Apa akan begini hingga tarikan nafas pamungkas? Hhh! Dengarlah, aku perlu bersuara. Gigi yang tersimpan dalam rongga mulut pun mulai kering, tersebab lama bersembunyi.
Kau mungkin mengira aku terpenjara
dalam ruang pengap, tanpa kehidupan.
Atau boleh jadi kau menyangka aku tengah terlempar ke planet antah
barantah yang belum lagi berpenghuni. Salah! Sandiwara yang kulakoni jauh lebih
mengerikan. Aku bernafas di antara jutaan
manusia yang tiap saat berganti, hilir mudik entah menyibukkan apa. Di tengah mereka aku mengeja waktu, detik
demi detik. Yah, aku hidup di bumi,
bahkan di tengah kota besar yang penduduknya kian membludak. Tapi mengapa di tengah ramai insan justru aku
mengecap tragisnya kesunyian? Entah.
***
Mentari pagi menyilaukan tatapan. Di taman ini, tempat aku meratapi nasib, kupandangi dua manusia tengah sibuk berbincang. Kadang antusias, kadang tergelak. Nikmat pasti rasanya berpartner seperti itu. Tak penuh mungkin isi kepala karena sempat dibagi.
Kuberanikan mengarah langkah, mengambil
jarak sekian meter. Siapa tahu aku boleh
ikut berbincang. Mungkin satu dari
mereka tertarik mendengar kisahku.
Bukankah aku punya banyak cerita menarik.
Tapi belum lagi aku melepas beban tubuh pada
bangku di samping mereka, seorang dari dua lelaki itu menatap tajam. Sorot matanya menyiratkan ia tak suka. Maaf.
Aku pasti mengusik keakraban itu.
Cepat
ku memulai mengambil aksi untuk menjauh.
Aku cukup tahu diri.
Dari kejauhan,
samar masih kudengar mereka
kembali bercerita. Hhh! Kurasa aku memang tak
pandai bergaul. Kadang kuperhatikan
manusia yang tak
saling kenal, hanya karena satu dua pertanyaan tiba-tiba menjadi akrab bak kawan lama. Mereka akan berkisah bagai dua karib yang
telah saling memahami. Pura-pura
bertanya, sok kenal. Hhm, boleh kuuji trik itu.
“Gaduh rokok, Neng?[1]” Kepada gadis manis berkerudung yang melintas aku bertanya sok akrab.
Tanpa bersuara, ia terbirit memacu langkah.
"Neng,
punya rokok?" Mungkin bukan
penduduk asli, tak mengerti bahasa lokal.
Kembali kunanti suaranya. Tapi
gagal, tetap ia bungkam, kian menjauh.
Ah, lagi-lagi sorot tak wajar. Sayangnya
aku belum cukup lihai memaknai tatapan itu.
Tapi di mana letak salahnya, hingga bincang yang kumulai bahkan menguap
tanpa balasan. Oww, menanyakan rokok
pada wanita berjilbab. Bodoh. Kuakui tadi kelewat gugup dalam menabur kata,
hingga kalimat itu mengumbar begitu saja.
Sebegitu
lamakah aku terlempar dari dunia interaksi, hingga sekadar mengawali
perbincangan pun aku linglung. Mereka
manusia, sama-sama manusia. Tapi kapan
terakhir aku bercakap dua arah? Terlalu
lama terlampaui memang. Hhh, baik, akan
kupelajari. Biar kulatih suara yang lama
tak menggema. Lain kali harus kuhindari
kesalahan yang sama. Aku tak boleh lagi
salah sasaran.
“Ehm...,
ehem!” Berat kerongkonganku mengalirkan
bunyi. Sedikit kupaksa hingga volumenya
meninggi. Mungkin tadi suaraku terlampau rendah, hingga angin berhasil menggerusnya.
“Ehem! Ehm..., apa kabar, Kang?” Ah, aneh. Bagaimana
kalau, “Mau ke mana, Mang?”
Atau “Neng, siapa namanya?” Aku
terus berlatih hingga baru menyadari bahwa mendadak taman ini mengundang
senyap. Rasanya tadi banyak makhluk
berkeliaran. Ke mana langkah menggiring
mereka? Sudahlah. Kucoba lagi besok. Kini saatnya aku memenuhi lambung yang mulai ribut menuntut
haknya. Matahari meninggi. Aku beranjak meninggalkan taman kota.
***
“Maneh[2] cuma
anak pungut, paviliun juga cukup.”
Lelaki 40 tahunan yang baru datang
tadi malam tiba-tiba telah menggenggam kendali.
Padahal bilangan tahun entah apa kesibukkannya. Bahkan tujuh tahun terakhir, bisa dihitung jari
langkah kakinya mengecap rumah abah.
“Iya, segitu
juga syukur dibagi.” Wanita yang tak lain
adik sang lelaki menimpali. Hampir sama,
ia pun nyaris tak pernah kelihatan batang hidungnya kecuali saat lebaran. Di dekat mereka
pun berdiri dua menantu abah dengan tabiat yang sama.
Ah, abah malang. Punya anak kandung tapi bagai tak punya
keturunan. Masa tua disia-siakan. Aku yang semasa SD sempat dipelihara merasa
wajib mengganjar budi, merawat dan menemani sepi hidupnya.
“Abah kan nggak nulis surat
warisan. Jadi perhitungan tetap
sebagaimana aturan yang berlaku.” Suara
lelaki itu meninggi. Entah apa isi otak
mereka saat datang kabar kematian abah.
Warisan, rumah abah, sawah. Kasihan
abah. Seolah kepergiaannya memang lama
telah dinanti.
“Tapi yang ngurus abah selama ini siapa?”
Aku berang. Bukan, bukan hendak
menagih balas jasa. Aku hanya geram
menyaksikan tingkah empat manusia yang dulu seakan jijik mendatangi rumah abah,
tapi kini sibuk memperebutkan hak atas bangunan ini.
“Paviliun itu jatahmu. Kalo nggak mau, ya sudah. Silahkan keluar.” Tak ada kompromi, tak dapat dinegosiasi. Mata empat saudara itu nyalang menatap penuh
benci.
“Aku pergi.” Keputusanku akhirnya. Emosi membuat kepala tak lagi jernih memilih
jawaban. Mana bisa aku hidup bersama
mereka. Pasti akan serupa pesuruh
rendahan aku dibuatnya.
“Bagus. Silahkan.”
Kompak senyum sinis mereka mengantarku hingga meninggalkan pagar. Tak banyak yang kubawa, kecuali baju di badan
dan sedikit lembaran dalam dompet. Abah,
maaf, aku tak punya daya mempertahankan rumah itu. Entahlah jadi apa dibuatnya nanti. Mungkin akan dirobohkan, lalu dibangun tempat kumpul tak
jelas. Kutinggalkan kawasan itu. Semakin jauh, kian menjarak.
“Kruuk..., kruuk” Aku
tersentak dari melamunkan sekerat kenangan yang masih tersisa di kepala, saat
perutku mengalirkan irama yang sudah kupahami maknanya. Belum kutemukan sekadar pengganjal perut. Aku terus menyeret langkah mendekati warung nasi
sederhana. Kukais tempat sampah,
berharap ada sisa pengisi perut pelanggan yang terlempar ke sana. Jijik?
Tidak kawan, sudah biasa. Empat
tahun aku luntang-lantung di jalan. Ah,
empat, lima, atau mungkin enam tahun.
Tak tahulah, aku tak pernah menghitung hari. Yang kutahu lama aku menjadi pengais sisa
makanan. Aku tak terbiasa mencuri. Abah selalu mengajariku etika. Biarlah aku mengambil apa yang memang tak
lagi mereka butuhkan.
“Pergi! Bikin kotor wae[3]!” Satu suara membuatku spontan membalik badan.
“Aya
naon?[4]” Satu sosok lain datang.
“Ieu,
aya nu ngacak-ngacak
sampah[5]. Sebel atuh,
bikin berantakan.” Tegasnya dengan
tatapan menikam.
“Makan, makan.” Hanya itu yang kukeluarkan sebagai pembelaan.
“Makan?? Ini teh
tempat sampah. Bukan tempat makanan! Ah, jangan-jangan maling.” Ucapnya menuduh. Aku terlalu takut berhadapan dengan manusia
semacam
ini. Rasanya serupa monster yang akan
melumat tubuhku. Cepat aku berlalu,
meninggalkan
segala ocehan yang hingga jauh masih
jelas terdengar. Kucari
saja tempat sampah yang lain.
***
Siang ini perutku tak lagi berontak,
setelah tadi kutemukan bungkus makanan yang masih setengah isi. Aku tak perlu makan tiga kali sehari. Satu kali cukup. Bahkan dua atau tiga kali sehari pun
sering. Tapi aku sehat, meski kadang
puncak lapar menggetarkan sendi lututku.
Aku pun tak perlu makanan yang tersaji rapi dalam piring melamin.
Pakaian tak kubutuhkan yang
baru. Cukup bagiku selama aurat
tertutup, meski kumal dan berbau. Toh tak
lagi peka hidungku oleh bau busuk.
Apalah lagi tempat tinggal. Tak usah rumah megah nan bertingkat. Saat merasa lelah, di mana pun aku akan pulas, meski berbalut dingin dan terkadang basah oleh hujan.
“Mau ke mana, Neng?” Kusapa gadis berkulit sawo matang. Ia menatap bingung lalu berbalik arah.
“Hei, Neng. Mau ke mana?
Ke mana?” Lama tak bercakap membuat
kosa-kataku kian menipis. Setengah
teriak aku memanggil. Namun ia terlalu
jauh, tak lagi mungkin mendengar.
Lalu seorang lelaki separuh baya
melintas. Aha, lupakan wanita tadi. Mungkin bapak ini mau diajak berbincang.
“Pak, mau pulang?” Aku mengeluarkan suara. Ia menatap sekilas, lalu melenggang cuek.
“Pak, pulang ke mana?” Rasanya suaraku makin layak didengar. Lagi pula lelaki itu tak berlari. Langkahnya masih wajar.
“Pak?” Kunaikkan volume. Namun ia hanya melayangkan senyum sinis
sambil terus melangkah santai. Ingin
rasanya kukejar, tapi aku terlalu malu.
Banyak sudah insan kuajak
bicara. Tak satu pun meladeni. Mengapa tak ada yang sudi kujadikan teman
berbincang? Aku hanya hendak berbagi
sedikit beban pikiran. Aku lelah
mengulum diam. Semakin kaku nanti
lidahku. Aku harus bicara. Aku mohon sudilah mendengar suaraku.
***
“Nuju
naon, Kang?”[6]
Sosok wanita keibuan, berbalut kerudung putih tiba-tiba telah duduk di sampingku. Wajahnya bersinar laksana bulan. Tidak kawan, aku tidak berlebihan, memang
demikian menakjubkan wanita ini. Ia tak
jijik berada dalam jarak dekat dengan posisiku.
“Akang udah makan?” Bibirnya
mengumbar senyum. Luar biasa.
“Eh, iya, eh, sudah, eh,
belum.” Gugup. Kata apa yang pantas kulayangkan untuk
berbincang dengan wanita secantik ini?
Bajunya rapi dan bersih. Bahkan
harum tubuhnya mampu mengalahkan aroma badanku.
“Neng siapa? Mau ke mana?”
Akhirnya berhasil juga kulontar rangkaian kata, meski kaku.
“Saya mau duduk aja di taman, menemani Akang.
Saya lihat tiap hari Akang duduk di sini.”
“Oh, iya. Saya memang tiap hari ke sini.” Aku tersanjung.
Tiga orang wanita melintas. Segera kusapa mereka untuk turut berbincang.
“Ayo sini, ikutan ngobrol.” Aku semakin
percaya diri. Toh kini aku tak sendirian. Namun
tiga
wanita tadi tersenyum mengejek lalu menjauh.
Ya sudah, satu teman ngobrol
pun cukup bagiku.
“Apa yang Akang cari di sini?” Wanita di sampingku menatap lembut, begitu
akrab dan bersahabat.
“Cari temen ngobrol aja.”
Tersipu aku membalas senyum manisnya.
“Ya udah. Saya aja jadi temen ngobrolnya. Boleh?”
“Boleh banget atuh, Neng. Seneng
malah.” Aku girang, tertawa riang.
Lama kami larut dalam obrolan,
hingga tiba-tiba segerombolan anak kecil datang. Aku masih hanyut tanpa peduli akan hadir
mereka.
“Lihat orang itu. Aneh.”
Seorang anak lelaki bersuara.
“Kadie, Jang[7]. Hayu’ ikutan
ngobrol.” Akhirnya kusapa, demi menyadari tatapannya mengarah padaku.
“Hahaha!” Lima
anak lain tergelak.
“Tuh, kamu diajakin ngobrol!” Kali ini gadis kecil berkuncir kuda menimpali.
“Hahaha, ada orang ngomong
sendiri!” Kalimat terakhir cukup
menyentak. Kusadari tatap mereka menuju
padaku.
“Ngomong
sendiri?? Nggak liat ada tante cantik?” Kukeraskan suara kesal.
“Hahaha!” Mereka melayangkan tawa, nikmat, kompak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih