05 Juni 2014

SEPASANG MATA DI DEPAN KANTOR GURU

            Sepasang mata mengawasi, seperti detektif sedang mengamati targetnya.  Tidak, mata itu lebih sayu.  Tidak setajam mata detektif.  Tapi di balik sayunya, ia cermat mengawasi.

***     

Aku berjalan menyusuri koridor menuju ruang guru.  Sebelum masuk aku melihat Eka berdiri tak jauh di bawah teras, persis menghadap ke dalam ruangan.  Seulas senyum aku lemparkan, namun ia hanya menatap nanar.  "Ah, selalu begitu."

Bergegas aku masuk, melewati beberapa guru yang sedang asyik berbincang di ruang tamu.  "Permisi, Bu." Ucapku santun sambil berlalu ke meja Bu Heni, wali kelasku.  Setelah meletakkan tumpukan buku tugas para siswa, aku bergegas keluar.  Sementara Eka, dia masih saja di sana.

           
             Eka adalah teman satu kelasku di 3A.  Tubuhnya jauh lebih besar.  Wajar saja, karena ia sempat dua tahun tinggal kelas.  Rambutnya panjang, ikal, dan selalu terikat.  Pakaiannya kurang tersetrika dengan rapi dan sedikit kusam.  Dia seorang pendiam dan tak banyak yang tahu tentang pribadinya, kecuali tentang satu kebiasaannya yang terbilang unik.  Setiap hari, bahkan setiap jam istirahat ia selalu berdiri mematung di lapangan depan kantor guru.  Matanya menatap ke dalam, seolah asyik menikmati obrolan para guru yang sedang berbincang.  Tak ada yang tau persis apa sesungguhnya yang ia harapkan.  Menunggu entah apa yang ditunggu.  Menatap entah apa yang ditatap.  Ia akan selalu begitu, hingga bel tanda istirahat usai berbunyi.

            "Ras, ada jajanan baru lho di kantin."  Juwita menahan langkahku di depan pintu.

            "Oya? apaan tuh?" tanyaku penasaran, mengurungkan niatku memasuki kelas.

            "Keripik singkong, tapi uenak tenan.  Beda dari yang sebelum-sebelumnya."  Ekspresi wajah Juwita begitu meyakinkan.

            "Waa, boleh tuh dicoba.  Tar aku ambil uang dulu di tas ya."  Setengah berlari aku menuju meja tempatku belajar.

            Dari kelas kami turun ke lapangan, menyingkat jalan untuk tiba di kantin yang berada di bagian belakang sekolah.  Di perjalanan lagi-lagi mataku menangkap sosok itu.

            "Wit, tar ya."  Aku berlari menghampiri Eka tanpa meminta persetujuan Juwita.

            "Ka, aku mau ke kantin.  Ikut ga?"

            Eka hanya menggeleng lemah, tanpa mengeluarkan suara.  Tapi kali ini ada sedikit senyum di bibirnya.

            "Oya udah, aku pergi dulu ya."  Kembali berlari aku mengarah ke Juwita.

            "Abis ngapain, Ras?"  Penasaran juga rupanya.

            "Ga, tadi aku ngajakin dia ke kantin.  Tapi ga mau katanya."

            "Dia ngapain di sana?"

            Aku hanya mengangkat bahu.  Pertanyaan ini sudah terlalu sering beredar di kalangan siswa kelas 3A.

***

            Siang ini aku hanya duduk di bangku semen yang memang tersedia pada setiap teras kelas.  Ada ulangan, sehingga aku malas bermain atau sekadar jajan di kantin.  Dari posisiku duduk, aku dapat memandang Eka lagi-lagi berdiri di tempatnya, meski sedikit terhalang oleh bunga-bunga di taman kelas.  Mungkin tanah dan tumbuhan di sana bahkan sudah hafal akan detik-detik keberadaannya.  Ia begitu konsisten.

            Tiba-tiba seorang guru memanggilnya.  Ia menghampiri dan sesaat terjadi dialog.  Aku yang merasa penasaran segera menutup buku hafalanku.  Kuperhatikan ia berlalu hingga menghilang di belakang sekolah.

            Selang 10 menit kemudian ia kembali dengan keresek hitam di tangan.  Langkahnya riang dan ringan.  Jujur, baru kali ini aku melihatnya demikian ceria.

            Dengan cekatan ia menghampiri Bu Ayu yang memang telah menanti di teras, kemudian menyerahkan kresek beserta sejumlah uang receh.  Terjadi tawar-menawar dan akhirnya ia mengambil satu penganan dari dalam kresek itu.  “Mungkin Bu Ayu memintanya membeli jajanan di kantin, dan sebagai hadiah ia diberikan satu buah kue.”  Pikirku menerka-nerka.

            Tak jauh dari ruang guru, Eka kini duduk di sisi kelas VI C, asyik menikmati makanannya.  Apa itu yang dia harapkan selama ini? Ah, masa' sih? Aku masih saja sibuk bermain dalam tebakan.

***

            Selang satu pekan kemudian aku kembali melihat Eka dipanggil oleh seorang guru.  Ternyata kali ini ia diminta untuk mengambilkan tas dan buku Pak Mardi yang tertinggal di kelas 2B.  Lagi-lagi langkah riang itu kudapati, saat ia berjalan menyusuri koridor.  Ia seolah tak peduli meski harus sedikit kewalahan mengangkut banyaknya bawaan.

            Begitulah, keteguhan dan penantian Eka di depan kantor guru seakan membuahkan hasil.  Beberapa guru mulai memanggilnya untuk dimintai tolong.  Tapi untuk apa ia melakukan itu?

***

            Suatu pagi jam pelajaran kosong, karena Pak Hasan yang seharusnya mengajar sedang sakit.  Tiba-tiba Bu Heni masuk ke dalam kelas.  Setelah duduk dan memperhatikan keadaan kelas ia hanya diam hingga lebih dari 15 menit.  Tampak ia sedang memikirkan sesuatu yang serius.  Kami menunggu dengan dada berdebar.

            "Eka, maju ke depan!"  Suaranya tiba-tiba memecah kesunyian.  Seluruh mata memandang ke arah Eka yang perlahan bangkit menuju meja guru.

            "Ibu mau tanya."  Diam lagi sesaat.

            "Ibu perhatikan sejak beberapa bulan ini kamu selalu berdiri di depan kantor guru.  Sebenarnya apa yang kamu lakukan?"

            Eka gugup, mungkin tak menduga akan mendapatkan pertanyaan itu.

            "Apa kamu mau cari perhatian?! Hah!"  Sedikit lebih tinggi nada suara Bu Heni kini.

Eka menunduk, menatap sepasang sepatu kusamnya yang entah berapa tahun tak pernah diganti.  Jari-jari tangannya saling menggengam.

            "Jawab, ka!" tampaknya Bu Heni semakin emosi.

            "Emm, sa-ya ma-u liat jam, Bu." Jelas sekali kegugupan Eka hampir menuju puncaknya.  Beberapa siswa mulai berbisik.  Sebagian lagi malah serius menonton adegan seru di hadapan mereka.  Seolah segudang tanya yang selama ini bersarang akhirnya akan bermuara pada satu pengakuan.

            "Lihat jam??!  Liat jam kok tiap saat.  Kamu biasanya baru pergi begitu bel berbunyi.  Memang apa pentingnya melihat jam dari awal waktu istirahat hingga usai??!"

            Diam, tak ada suara dari bibir Eka.  Ia semakin menundukkan kepalanya.

            "Ibu malu.  Sebagai wali kelas kamu, Ibu yang ditegur sama guru-guru lain bahkan kepala sekolah.  Mereka selalu bertanya kenapa siswa Ibu selalu berdiri di sana.  Menonton para guru yang sedang berbincang."  Bu Heni sedikit menurunkan suara.  Tak tega ia melihat Eka yang kian mengkerut.

            "Mau minta jajan kali, Bu! Ha ha." Dari pojok belakang Doni mengeluarkan suara.  Ia tak peduli suasana sedang genting.  Terjadi keributan.  Beberapa siswa terutama laki-laki ikut tertawa riang.

            "Diam! Ibu sedang bicara serius!!"  Di tengah hiruk pikuk, suara Bu Heni tetap terdengar lantang.  Ia memukul meja dengan penggaris besar yang terbuat dari kayu.  Sejurus kemudian suasana kembali hening.  Beberapa siswa hanya berani berbisik sambil melirik dan mengutuk Doni.

            "Kenapa kamu diam, Ka!"  Kembali perhatian tertuju pada wajah lugu Eka.  Gadis kecil itu hampir saja menangis.

            "Kamu senang diperhatikan oleh para guru?"

            "I-ya, Bu."

            "Kamu senang disuruh ini itu sama guru-guru yang kebetulan butuh pertolongan?"

            "Iya."

            "Kenapa?!"

            Diam lagi.  Pastilah Eka bingung mengungkapkan alasannya.  Ah, aku ingat Eka pernah beberapa kali mengikuti langkahku saat berjalan ke ruang guru.  Sebagai ketua kelas aku memang sering bolak-balik ke sana, entah untuk mengantar dan mengambil buku tugas, atau sekadar mengecek guru yang tak kunjung hadir.  Dia mungkin ingin menawarkan bantuan, agar bisa ikut serta ke ruang guru.  Menyesal aku selama ini tak terlalu peka akan hal seperti itu.

            Bu Heni seperti hilang kesabaran.  Ia beranjak dari duduknya.  Wajah siswa semakin tegang, terutama Eka.  Entahlah apa yang akan dilakukan oleh Bu Heni sekarang.

            "Sekarang kamu ikut Ibu.  Kita bicara di ruangan Ibu saja."  Bu Heni berjalan menuju pintu, sementara Eka mengangguk patuh.  Sebelum tiba di pintu tiba-tiba langkah Bu Heni terhenti.

            "Laras, kamu ikut!"  Ia menatap wajahku sekilas, lalu menghilang.

***

            "Ibu minta kamu jujur, Ka.  Sekarang kamu ga perlu takut."  Lembut kini suara Bu Heni.  Ia seakan baru memahami kondisi nyali Eka yang mudah ciut.

            "Iya, Ka.  Kalo kamu ada masalah atau kesulitan, mungkin kita bisa bantu."  Aku berbicara sok bijak.  Sekadar mengisi kesunyian, menanti suara Eka yang entah kapan akan keluar.  Beberapa kali Eka tampak hendak mulai bicara, tapi selalu ditarik kembali.  Ia benar-benar ragu.

            "Ayo dong, Ka.  Kamu jangan bikin kita semua bingung."  Bu Heni terus mendesak.

Ruang kantor sepi karena sebagian besar guru sedang mengajar.  Hanya ada beberapa staf tata usaha di ruang sebelah.

            “Sa-ya.”  Satu kata akhirnya keluar meski terbata.  Aku dan Bu Heni menahan nafas, menanti kata-kata berikutnya hingga membentuk rangkaian kalimat.  Satu menit, lima menit, kembali hening tercipta.  Eka menyeka keringat yang mengucur di dahi.  Hembusan hawa AC tak mampu membuatnya merasa lebih adem.

            “Saya.  Saya berharap dengan berdiri lama di sana, guru-guru akan memperhatikan saya.  Guru akan kenal dan mengingat saya, termasuk Pak Robby."  Eka menghembus nafas panjang, seolah beban teramat berat telah ia tumpahkan sebagian.

            "Pak Robby? Ada apa dengan Pak Robby?"

            "Dulu sewaktu pelajaran olahraga, pernah ada tes lari di lapangan merdeka.  Semua siswa termasuk Pak Robby berangkat pake' angkot, diongkosin sama Pak Robby.  Tapi sewaktu perjalanan pulang Pak Robby kekurangan receh.  Kebetulan saya membawa uang hasil jahitan Ibu dari pelanggan.  Waktu itu bilangnya mau pinjem dulu, nanti diganti di sekolah."  Eka menunduk usai menyampaikan isi hatinya.  Tumben dia bisa berbicara selancar itu.  Bu Heni tampak mengeryitkan dahi.

            "Kapan itu?"

            "Akhir semester I kemaren, Bu.  Sekitar 4 bulan yang lalu."

            "Astaghfirullah.  Dan sampai dengan saat ini belum diganti?"

            "Belum, Bu.  Hampir setiap hari Ibu saya selalu menanyakan uang itu.  Saya selalu beralasan, mungkin besok.  Tapi lama kelamaan Ibu saya jadi marah-marah.  Ibu saya butuh uang itu."

            "Berapa uangnya, Ka?"

            "Tiga puluh tujuh ribu, Bu."

            "Kenapa kamu ga ingetin aja Pak Robby.  Pasti beliau lupa."  Aku akhirnya ikut bersuara.

            "Saya takut.  Saya juga malu.  Makanya saya berharap dengan guru-guru mengenal saya, sering menyebut nama saya, Pak Robby jadi keingetan sama utang itu."

            Bu Heni mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.  Ia lalu menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan kepada Eka.  Ini, Ibu aja yang ganti.  Sisanya ambil aja buat kamu.  Sampaikan juga permohonan maaf untuk Ibu kamu ya.”

            "Tapi, Bu.  Pak Robby?" tampak ragu Eka melirik uang di hadapannya.

            "Sudah.  Nanti ibu yang coba bicara sama Pak Robby."

            Eka mengambil uang itu perlahan.  "Makasih ya, Bu.  Makasih juga, Ras."  Senyum kelegaan menghiasi wajahnya, juga wajah aku dan Bu Heni.

            "Tapi Ibu minta sama kamu, kalo ada masalah coba kamu bicarakan.  Minimal sama Ibu atau sama Laras.  Jangan dipendam kaya' gini.  Bisa kan?"

            "Iya, Bu.  InsyaAllah."

            "Ya sudah, sekarang kalian kembali ke kelas."

            Aku dan Eka menyusuri koridor meninggalkan ruang guru.  Di teras aku menatap tanah tempat biasa Eka berdiri.  "InsyaAllah, tak akan ada lagi sepasang mata mengawasi dari tempat itu."  Pikirku geli sembari terus tersenyum.  “Pak Robby, Pak Robby, mungkin beliau terlalu menggangap remeh uang dengan jumlah segitu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih

Memeluk Kenangan

Saat aku mencoba melupakan namun gagal, Saat itulah aku memutuskan untuk berhenti melupakan. Berdamai. Merangkai kisah dalam ...