menjelma cinta yang Maha
Duhai Rahman,
hendak kubalas, kujawab
agar layak menadah
biar tak malu mereguk kasih
meski entah secuil laku bermakna balas, entah masih jauh menebar hina
Usep terjaga dan bangkit terburu-buru begitu melirik angka 13.27 pada layar ponselnya. Dengan mengumpulkan kesadaran, ia melangkah keluar. Pelataran sepi. Lebih dari sepuluh menit ia menyusuri teras, berharap secepatnya menemukan satu benda. Nihil. Kini sambil berjinjit kaki Usep menelusuri halaman masjid kantor. Berjalan ke sana kemari mencari sepasang sandal jepit berwarna biru nomor 39 miliknya. Tidak terlalu mewah, tapi cukup sebagai alas kaki hingga menuju lift dan naik ke lantai sepuluh.
"Nyari apaan, Sep?" Rio menepuk pundak Usep. Entah dari sebelah mana, tiba-tiba makhluk
itu sudah berdiri di belakangnya.
"Sendal saya ke mana ya? Heran,
sendal butut juga laku geuning[1]." Usep garuk-garuk kepala. Liar tatapnya menyapu seantero halaman. Tak sedikitpun matanya beradu pada sang
pemilik tanya.
"Anu kumaha sendalna?[2]" Rio jadi celingak-celinguk, mengikuti aksi
rekan kerjanya.
"Sendal jepit warna biru. Lagi shalat mah disimpen weh di teras. Naha’[3]
sekarang nggak ada? Cuma ditinggal shalat sama tidur
bentar.” Kini ia menuju rerimbun pohon
bonsai yang menjadi penghias di sisi halaman.
"Biru, alit[4] nya'? Barusan
si Sopyan juga kehilangan sendal, terus liat ada sendal jepit biru di teras. Dipake’ weh
sama Sopyan teh. Yah, kali aja yang itu."
Saat aku mencoba melupakan namun gagal, Saat itulah aku memutuskan untuk berhenti melupakan. Berdamai. Merangkai kisah dalam ...