Usep terjaga dan bangkit terburu-buru begitu melirik angka 13.27 pada layar ponselnya. Dengan mengumpulkan kesadaran, ia melangkah keluar. Pelataran sepi. Lebih dari sepuluh menit ia menyusuri teras, berharap secepatnya menemukan satu benda. Nihil. Kini sambil berjinjit kaki Usep menelusuri halaman masjid kantor. Berjalan ke sana kemari mencari sepasang sandal jepit berwarna biru nomor 39 miliknya. Tidak terlalu mewah, tapi cukup sebagai alas kaki hingga menuju lift dan naik ke lantai sepuluh.
"Nyari apaan, Sep?" Rio menepuk pundak Usep. Entah dari sebelah mana, tiba-tiba makhluk
itu sudah berdiri di belakangnya.
"Sendal saya ke mana ya? Heran,
sendal butut juga laku geuning[1]." Usep garuk-garuk kepala. Liar tatapnya menyapu seantero halaman. Tak sedikitpun matanya beradu pada sang
pemilik tanya.
"Anu kumaha sendalna?[2]" Rio jadi celingak-celinguk, mengikuti aksi
rekan kerjanya.
"Sendal jepit warna biru. Lagi shalat mah disimpen weh di teras. Naha’[3]
sekarang nggak ada? Cuma ditinggal shalat sama tidur
bentar.” Kini ia menuju rerimbun pohon
bonsai yang menjadi penghias di sisi halaman.
"Biru, alit[4] nya'? Barusan
si Sopyan juga kehilangan sendal, terus liat ada sendal jepit biru di teras. Dipake’ weh
sama Sopyan teh. Yah, kali aja yang itu."
Gerakan Usep terhenti cepat. Ia menegakkan badannya seraya berbalik ke
arah Rio.
“Sopyan?!” Hanya hendak meyakinkan pendengaran.
“Iya, tadi saya kan bareng dari sini.” Serius wajah Rio.
"Ah, punya orang mah harusnya jangan dipake’ atuh. Hayyu ah, ke sana." Sambil menggerutu dan dengan kaki telanjang
Usep berjalan ke arah lift, mencari Sopyan yang bekerja di lantai 12. Panas aspal penghubung halaman masjid dan
teras menuju lift tak lagi dihiraukan.
Rio tergopoh mengikuti langkah kaki Usep.
***
"Yan, liat sendal jepit biru? Punya saya ilang euy. Barusan ge[5]
nyeker dari masjid ke sini." Dari
bibir pintu Usep berjalan mendekati meja Sopyan. Tanpa permisi ia menghempaskan tubuh ke kursi
di depannya, melepas penat dan panas di telapak kaki. Sementara itu Rio menarik kursi beroda dari
meja kosong di seberang Sopyan. Sopyan
yang menyadari kehadiran Usep segera mengalihkan pandangan dari layar monitor
15 inch di hadapannya.
"Ooh, itu teh punya kamu? Ha ha!
Punten atuh, kirain teh nggak ada yang punya. Saya juga kehilangan sendal barusan. Ha ha!!"
Meledak tawa Sopyan saat menyadari kekeliruannya. Wajah Usep tampak kesal, namun meninggalkan
kesan lucu di mata Sopyan.
"Eta geura, kalah seuri[6]. Atuh
udah tau punya orang mah jangan dibawa." Usep manyun.
Semakin kesal ia melihat tawa sahabatnya.
"Punya saya dipake’ siapa atuh? Mirip, tapi warna ijo. Rada gedean dikit sih." Giliran Sopyan yang berfikir, tawanya terhenti. Sementara Usep merunduk, menarik sepasang
sandal yang tersimpan di kolong meja kerja Sopyan.
"Aku! Haha!! Aku yang pake’. Nu ieu
sanes?![7]" Popon
yang sedari tadi mendengarkan perbincangan rekannya buru-buru
berkometar, mengakui kesalahan. Ia
berjalan sembari menjinjing sepasang sandal jepit hijau yang diduga milik
Sopyan.
Segera Sopyan memeriksa sandal di tangan
Popon. Pipet merah muda yang menyambung
di bagian telapak sebelah kiri cukup menjadi pengenal. Ia meraih benda itu.
"Betul pisan ini punya saya. Ah, si Popon mah nggak bilang-bilang."
Sopyan girang melihat sepasang sandalnya yang penuh sejarah. Sigap ia mengamankan sepasang sandal itu ke
kolong meja.
"Huh! Saya juga kehilangan
sendal. Atuh punya saya di saha’[8]
tah??" Popon mengulang kembali pertanyaan yang dilontarkan oleh Sopyan. Usep dan Sopyan hanya mengangkat bahu.
"Nu kumaha sendalnya?" Rio bersuara.
"Anu hideung, rada ageung[9]. Jarang
nemu sendal kaya’ gitu mah.” Kursi bulat yang tak jelas siapa pemiliknya
lantaran selalu berpindah tempat, kini berdenyit begitu tubuh tambun Popon
hinggap di atasnya.
"Oh! Saya liat tadi siang" Setelah sekian detik hening, tiba-tiba suara
melaju dari seberang meja Popon.
Ekspresi Ujang, sang pemilik suara tetap tenang. Di balik kaca mata minus 3,5-nya ia serius
menyusuri deretan angka yang terhampar di monitor.
"Di mana? Ada di kamu??!" Popon berdiri tak sabar, lebih tepatnya
penasaran. Seluruh mata ikut memandang
ke arah Ujang yang hanya menampakkan punggungnya.
"Sanes[10]
atuh, saya mah punya sendal sendiri.
Tadi mah
liat dipake’ sama Arip lantai tujuh. Sok tanyain." Kali ini ia menghentikan sejenak tatapan
matanya pada monitor, demi membalikkan badan ke arah teman-temannya.
"Ah, meuni panjang gini urusannya.
Dari sendal jepit jadi harus nyari ke lantai tujuh sagala. Tar lah pas ke masjid lagi saya tanyain." Popon menggerutu sembari beranjak kembali ke
meja kerjanya. Sementara yang lain sibuk
menertawakan.
***
Kumandang adzan ashar menggema. Sebagian penghuni PT Kromosom bergegas menuju
masjid yang terletak di halaman gedung. Detik-detik
ini biasanya lift selalu ngantri, mengangkut banyak “penumpang”. Popon yang sudah menyiapkan wudhu sejak
beberapa menit sebelumnya berjalan santai.
Sebelum tiba di teras masjid, ia bertemu dengan Arip. Matanya melirik sepasang kaki Arip yang
beralaskan sandal jepit hitam.
"Rip, eta sendal punya kamu bukan?"
Popon menyamai posisi hingga berjalan sejajar dengan Arip. Arip menoleh, memelankan langkah.
"Oo ieu, sanes. Tadi abis
shalat dzuhur ada yang ngambil sendal saya.
Yah sama saya yang ada weh
dipake’." Polos Arip mengakui ihwal
sandal hitam yang ia gunakan.
"Tau nggak siapa yang punya?" Langkah mereka semakin mendekati pintu
masjid, sementara iqamah mulai disuarakan.
"Duka[11] tah. He
he" Arip nyengir kuda.
"Saya. Eta teh
sendal saya." Popon menjawab
sendiri pertanyaannya.
"Oo, punya kamu? Punten atuh, bukan maksud hati. Saya
ge bingung sendal saya dibawa sama
siapa?" Sedikit terkejut Arip saat mengetahui faktanya.
"Hehe, teu nanaon[12]. Saya ge
tadinya ngambil sendal si Sopyan."
Mereka masuk ke dalam barisan jama'ah shalat ashar dan meluruskan niat.
***
Kini giliran Arip yang harus bertelanjang
kaki menuju lantai tujuh. Tapi tiba-tiba
rasa penasaran menahan langkahnya. Ia
melihat sepasang sandal miliknya tergeletak rapih di antara pasangan sandal
jepit yang lain. Ditemani Usep, Popon,
dan Rio, Arip duduk di tangga teras masjid, mengawasi dari jarak yang tidak
terlalu jauh. Mereka bertekad untuk
melihat siapa gerangan yang membawa sandal itu ke masjid sore ini.
Satu persatu jama'ah yang telah
merampungkan kewajiban shalat ashar berlalu, hendak kembali pada pekerjaan
masing-masing. Sekian orang beranjak,
sekian pasang kaki diawasi, namun belum ada tanda-tanda sandal Arip akan dibawa
pergi.
"Hayyu ah, loba
gawe yeuh.[13]" Usep mulai tak sabar.
"Ke’ heula atuh, sakeudap deui[14]'. Penasaran saya mah. Siapa yang ngambil sendalnya Arip teh." Rio menahan tangan Usep yang bersiap hendak
berdiri. Usep mengurungkan niat,
bertahan di teras.
Kembali sunyi. Mata-mata mereka serius menatap pasangan
sandal yang masih tersisa. Sepuluh
menit, lima belas menit, sandal itu masih betah ditempatnya. Wajah empat sekawan itu kian resah.
"Eweuh, ah[15]! Udah ambil aja, Rip. Mungkin yang ngambil udah nemu sendalnya,
jadi punya kamu ditinggal di sini."
Jelas ketidaksabaran Usep kian memuncak.
"Masih ada orang di dalem masjid teh.
Antosan[16] weh,
bentar lagi. Meuni teu sabar." Popon
mengomentari ucapan Usep.
"Lama atuh, saya teh banyak
kerjaan. Saya duluan atuh nya’. Tar kasih tau weh, siapa yang ngambil sendalnya." Usep benar-benar berdiri dan berlalu
meninggalkan tiga sahabatnya.
"Ah, si Usep meuni teu sabaran pisan."
Popon menggerutu.
Kini tinggal bertiga mereka duduk di sisi
teras masjid. Rio meluruskan kaki,
sementara Arip berdiri.
"Cangkeul[17] saya mah." Seru Arip.
“Iya, bener kaya’nya yang dibilang sama
Usep. Sok weh, Rip ambil aja.”
"Sstt...." Popon yang masih serius mengawasi,
mengeluarkan aba-aba untuk diam.
"Tingali[18],
ada yang make’ sendal
Arip." Pelan sekali suaranya. Arip dan Rio otomatis membesarkan kedua mata,
duduk tegak mendekati posisi Popon.
Tiga pasang mata itu serentak menatap ke
satu arah. Sepasang kaki melabuhkan
kakinya dengan nyaman pada sandal merah marun milik Arip. Arip hampir saja membuka mulutnya untuk
mengingatkan sang pemilik kaki, tapi tertahan suaranya.
Popon dan Rio juga bengong, sama-sama tak
mampu bersuara. Kini mereka bertiga terdiam,
menatap sepasang kaki melangkah ringan, kian menjauh menuju lift. Ah, andai saja kaki itu bukan milik owner perusahaan yang terkenal killer, mungkin sejak tadi Arip sudah
menegurnya.
[1] Geuning = Ternyata
[2] Anu kumaha sendalna? = Yang bagaimana sandalnya?
[3] Naha = Kenapa
[4] Alit = Kecil
[5] Ge/Oge = Juga
[6] Eta geura, kalah seuri = Itu coba ya, malah ketawa
[7] Nu ieu sanes? = Yang ini bukan?
[8] Saha = Siapa
[9] Anu hideung, rada ageung = Yang hitam, rada besar
[10] Sanes = Bukan
[11] Duka = Tidak tahu
[12] Teu nanaon = Tidak apa-apa
[13] Seueur gawe = Banyak kerjaan
[14] ‘Ke heula atuh, sakeudap deui’ = Nanti dulu dong, sebentar lagi
[15] Eweuh, ah! = Ga ada, ah!
[16] Antosan = Tungguin
[17] Cangkeul = Pegel
[18] Tingali = Lihat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih