Sepasang mata mengawasi, seperti detektif sedang mengamati targetnya. Tidak, mata itu lebih sayu. Tidak setajam mata detektif. Tapi di balik sayunya, ia cermat mengawasi.
***
Aku berjalan menyusuri koridor menuju ruang
guru. Sebelum masuk aku melihat Eka
berdiri tak jauh di bawah teras, persis menghadap ke dalam ruangan. Seulas senyum aku lemparkan, namun ia hanya
menatap nanar. "Ah, selalu
begitu."
Bergegas aku masuk, melewati beberapa guru yang sedang asyik berbincang di ruang tamu. "Permisi, Bu." Ucapku santun sambil berlalu ke meja Bu Heni, wali kelasku. Setelah meletakkan tumpukan buku tugas para siswa, aku bergegas keluar. Sementara Eka, dia masih saja di sana.
"Ras, ada jajanan baru lho di kantin." Juwita
menahan langkahku di depan pintu.
"Oya? apaan tuh?" tanyaku penasaran, mengurungkan
niatku memasuki kelas.
"Keripik singkong, tapi uenak
tenan. Beda dari yang
sebelum-sebelumnya." Ekspresi wajah
Juwita begitu meyakinkan.
"Waa,
boleh tuh dicoba. Tar aku ambil uang
dulu di tas ya." Setengah berlari
aku menuju meja tempatku belajar.
Dari
kelas kami turun ke lapangan, menyingkat jalan untuk tiba di kantin yang berada
di bagian belakang sekolah. Di perjalanan
lagi-lagi mataku menangkap sosok itu.
"Wit,
tar ya." Aku berlari menghampiri
Eka tanpa meminta persetujuan Juwita.
"Ka,
aku mau ke kantin. Ikut ga?"
Eka
hanya menggeleng lemah, tanpa mengeluarkan suara. Tapi kali ini ada sedikit senyum di bibirnya.
"Oya
udah, aku pergi dulu ya." Kembali
berlari aku mengarah ke Juwita.
"Abis
ngapain, Ras?" Penasaran juga
rupanya.
"Ga,
tadi aku ngajakin dia ke kantin. Tapi ga
mau katanya."
"Dia
ngapain di sana?"
Aku
hanya mengangkat bahu. Pertanyaan ini
sudah terlalu sering beredar di kalangan siswa kelas 3A.
***
Siang
ini aku hanya duduk di bangku semen yang memang tersedia pada setiap teras
kelas. Ada ulangan, sehingga aku malas
bermain atau sekadar jajan di kantin.
Dari posisiku duduk, aku dapat memandang Eka lagi-lagi berdiri di
tempatnya, meski sedikit terhalang oleh bunga-bunga di taman kelas. Mungkin tanah dan tumbuhan di sana bahkan
sudah hafal akan detik-detik keberadaannya.
Ia begitu konsisten.
Tiba-tiba
seorang guru memanggilnya. Ia
menghampiri dan sesaat terjadi dialog.
Aku yang merasa penasaran segera menutup buku hafalanku. Kuperhatikan ia berlalu hingga menghilang di
belakang sekolah.
Selang
10 menit kemudian ia kembali dengan keresek hitam di tangan. Langkahnya riang dan ringan. Jujur, baru kali ini aku melihatnya demikian
ceria.
Dengan
cekatan ia menghampiri Bu Ayu yang memang telah menanti di teras, kemudian
menyerahkan kresek beserta sejumlah uang receh.
Terjadi tawar-menawar dan akhirnya ia mengambil satu penganan dari dalam
kresek itu. “Mungkin Bu Ayu memintanya
membeli jajanan di kantin, dan sebagai hadiah ia diberikan satu buah kue.” Pikirku menerka-nerka.
Tak
jauh dari ruang guru, Eka kini duduk di sisi kelas VI C, asyik menikmati
makanannya. Apa itu yang dia harapkan
selama ini? Ah, masa' sih? Aku masih saja sibuk bermain dalam tebakan.
***
Selang
satu pekan kemudian aku kembali melihat Eka dipanggil oleh seorang guru. Ternyata kali ini ia diminta untuk
mengambilkan tas dan buku Pak Mardi yang tertinggal di kelas 2B. Lagi-lagi langkah riang itu kudapati, saat ia
berjalan menyusuri koridor. Ia seolah
tak peduli meski harus sedikit kewalahan mengangkut banyaknya bawaan.
Begitulah,
keteguhan dan penantian Eka di depan kantor guru seakan membuahkan hasil. Beberapa guru mulai memanggilnya untuk
dimintai tolong. Tapi untuk apa ia
melakukan itu?
***
Suatu
pagi jam pelajaran kosong, karena Pak Hasan yang seharusnya mengajar sedang
sakit. Tiba-tiba Bu Heni masuk ke dalam
kelas. Setelah duduk dan memperhatikan
keadaan kelas ia hanya diam hingga lebih dari 15 menit. Tampak ia sedang memikirkan sesuatu yang
serius. Kami menunggu dengan dada
berdebar.
"Eka,
maju ke depan!" Suaranya tiba-tiba
memecah kesunyian. Seluruh mata
memandang ke arah Eka yang perlahan bangkit menuju meja guru.
"Ibu
mau tanya." Diam lagi sesaat.
"Ibu
perhatikan sejak beberapa bulan ini kamu selalu berdiri di depan kantor
guru. Sebenarnya apa yang kamu
lakukan?"
Eka
gugup, mungkin tak menduga akan mendapatkan pertanyaan itu.
"Apa
kamu mau cari perhatian?! Hah!"
Sedikit lebih tinggi nada suara Bu Heni kini.
Eka menunduk, menatap sepasang sepatu
kusamnya yang entah berapa tahun tak pernah diganti. Jari-jari tangannya saling menggengam.
"Jawab,
ka!" tampaknya
Bu Heni semakin emosi.
"Emm,
sa-ya ma-u liat jam, Bu." Jelas sekali kegugupan Eka hampir menuju
puncaknya. Beberapa siswa mulai berbisik. Sebagian lagi malah serius menonton adegan
seru di hadapan mereka. Seolah segudang
tanya yang selama ini bersarang akhirnya akan bermuara pada satu pengakuan.
"Lihat
jam??! Liat jam kok tiap saat. Kamu biasanya baru pergi begitu bel
berbunyi. Memang apa pentingnya melihat
jam dari awal waktu istirahat hingga usai??!"
Diam,
tak ada suara dari bibir Eka. Ia semakin
menundukkan kepalanya.
"Ibu
malu. Sebagai wali kelas kamu, Ibu yang ditegur sama
guru-guru lain bahkan kepala sekolah.
Mereka selalu bertanya kenapa siswa Ibu
selalu berdiri di sana. Menonton para
guru yang sedang berbincang." Bu
Heni sedikit menurunkan suara. Tak tega
ia melihat Eka yang kian mengkerut.
"Mau
minta jajan kali, Bu! Ha ha." Dari pojok belakang Doni mengeluarkan
suara. Ia tak peduli suasana sedang
genting. Terjadi keributan. Beberapa siswa terutama laki-laki ikut
tertawa riang.
"Diam!
Ibu sedang bicara serius!!" Di
tengah hiruk pikuk, suara Bu Heni tetap terdengar lantang. Ia memukul meja dengan penggaris besar yang
terbuat dari kayu. Sejurus kemudian
suasana kembali hening. Beberapa siswa
hanya berani berbisik sambil melirik dan mengutuk Doni.
"Kenapa
kamu diam, Ka!" Kembali perhatian
tertuju pada wajah lugu Eka. Gadis kecil
itu hampir saja menangis.
"Kamu
senang diperhatikan oleh para guru?"
"I-ya,
Bu."
"Kamu
senang disuruh ini itu sama guru-guru yang kebetulan butuh pertolongan?"
"Iya."
"Kenapa?!"
Diam
lagi. Pastilah Eka bingung mengungkapkan
alasannya. Ah, aku ingat Eka pernah beberapa
kali mengikuti langkahku saat berjalan ke ruang guru. Sebagai ketua kelas aku memang sering
bolak-balik ke sana, entah untuk mengantar dan mengambil buku tugas, atau
sekadar mengecek guru yang tak kunjung hadir.
Dia mungkin ingin menawarkan bantuan, agar bisa ikut serta ke ruang
guru. Menyesal aku selama ini tak
terlalu peka akan hal seperti itu.
Bu
Heni seperti hilang kesabaran. Ia
beranjak dari duduknya. Wajah siswa
semakin tegang, terutama Eka. Entahlah
apa yang akan dilakukan oleh Bu Heni sekarang.
"Sekarang
kamu ikut Ibu. Kita bicara di ruangan Ibu saja." Bu Heni berjalan menuju pintu, sementara Eka
mengangguk patuh. Sebelum tiba di pintu
tiba-tiba langkah Bu Heni terhenti.
"Laras,
kamu ikut!" Ia menatap wajahku
sekilas, lalu menghilang.
***
"Ibu
minta kamu jujur, Ka. Sekarang kamu ga
perlu takut." Lembut kini suara Bu
Heni. Ia seakan baru memahami kondisi
nyali Eka yang mudah ciut.
"Iya,
Ka. Kalo kamu ada masalah atau
kesulitan, mungkin kita bisa bantu."
Aku berbicara sok bijak. Sekadar
mengisi kesunyian, menanti suara Eka yang entah kapan akan keluar. Beberapa kali Eka tampak hendak mulai bicara,
tapi selalu ditarik kembali. Ia
benar-benar ragu.
"Ayo
dong, Ka. Kamu jangan bikin kita semua
bingung." Bu Heni terus mendesak.
Ruang kantor sepi karena sebagian
besar guru sedang mengajar. Hanya ada
beberapa staf tata usaha di ruang sebelah.
“Sa-ya.” Satu kata akhirnya keluar meski terbata. Aku dan Bu Heni menahan nafas, menanti
kata-kata berikutnya hingga membentuk rangkaian kalimat. Satu menit, lima menit, kembali hening
tercipta. Eka menyeka keringat yang
mengucur di dahi. Hembusan hawa AC tak mampu
membuatnya merasa lebih adem.
“Saya. Saya berharap dengan berdiri lama di sana,
guru-guru akan memperhatikan saya. Guru
akan kenal dan mengingat saya, termasuk Pak Robby." Eka menghembus nafas panjang, seolah beban
teramat berat telah ia tumpahkan sebagian.
"Pak
Robby? Ada apa dengan Pak Robby?"
"Dulu
sewaktu pelajaran olahraga, pernah ada tes lari di lapangan merdeka. Semua siswa termasuk Pak Robby berangkat
pake' angkot, diongkosin sama Pak Robby.
Tapi sewaktu perjalanan pulang Pak Robby kekurangan receh. Kebetulan saya membawa uang hasil jahitan Ibu
dari pelanggan. Waktu itu bilangnya mau
pinjem dulu, nanti diganti di sekolah."
Eka menunduk usai menyampaikan isi hatinya. Tumben dia bisa berbicara selancar itu. Bu Heni tampak mengeryitkan dahi.
"Kapan
itu?"
"Akhir
semester I kemaren, Bu. Sekitar 4 bulan
yang lalu."
"Astaghfirullah. Dan sampai dengan saat ini belum
diganti?"
"Belum,
Bu. Hampir setiap hari Ibu saya selalu
menanyakan uang itu. Saya selalu
beralasan, mungkin besok. Tapi lama kelamaan
Ibu saya jadi marah-marah. Ibu saya butuh uang itu."
"Berapa
uangnya, Ka?"
"Tiga
puluh tujuh ribu, Bu."
"Kenapa
kamu ga ingetin aja Pak Robby. Pasti
beliau lupa." Aku akhirnya ikut
bersuara.
"Saya
takut. Saya juga malu. Makanya saya berharap dengan guru-guru
mengenal saya, sering menyebut nama saya, Pak Robby jadi keingetan sama utang
itu."
Bu
Heni mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Ia lalu menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan kepada Eka. Ini, Ibu
aja yang ganti. Sisanya ambil aja buat
kamu. Sampaikan juga permohonan maaf
untuk Ibu kamu ya.”
"Tapi,
Bu. Pak Robby?" tampak ragu Eka melirik
uang di hadapannya.
"Sudah. Nanti ibu yang coba bicara sama Pak
Robby."
Eka
mengambil uang itu perlahan.
"Makasih ya, Bu. Makasih
juga, Ras." Senyum kelegaan
menghiasi wajahnya, juga wajah aku dan Bu Heni.
"Tapi
Ibu minta sama kamu, kalo ada masalah coba kamu bicarakan. Minimal sama Ibu atau sama Laras. Jangan dipendam kaya' gini. Bisa kan?"
"Iya,
Bu. InsyaAllah."
"Ya
sudah, sekarang kalian kembali ke kelas."
Aku
dan Eka menyusuri koridor meninggalkan ruang guru. Di teras aku menatap tanah tempat biasa Eka
berdiri. "InsyaAllah, tak akan ada
lagi sepasang mata mengawasi dari tempat itu." Pikirku geli sembari terus tersenyum. “Pak Robby, Pak Robby, mungkin beliau terlalu
menggangap remeh uang dengan jumlah segitu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih