“Allahuakbar, allahuakbar...”
Lantunan adzan menyapa. Dan seperti biasa, suara adzan maghrib di
bulan ramadhan selalu menjadi alunan merdu yang paling dirindu.
“Alhamdulillah.”
Dina tak sabar melahap aneka hidangan
ta’jil dihadapannya. Ada kolak labu,
puding coklat, es cendol, martabak telor, teh hangat, juga beragam sajian makan
malam seperti sop buntut goreng, pepes ikan, tumis kangkung, tempe bacem, serta
sambal goreng. Komplit!
“Hueekk!!” Mata Dina membelalak.
“Aih aih!! Naon ieu??! Iigghh, hueek!” Baru berkisar kurang dari sepuluh menit menikmati makanan pembuka, Dina mendadak merasakan jijik luar biasa. Wajar saja, karena aneka makanan yang semula menggoda selera, kini tiba-tiba berubah wujud menjadi daging busuk, darah, serta puluhan belatung. Puding coklat yang sedang lahap dinikmati pun tak jauh beda, serupa darah kental yang berbau amis. Alih-alih melanjutkan buka puasa, Dina bergegas menuju kamar mandi, memuntahkan isi perut yang sejatinya masih kosong tak berisi.
“Astaghfirullah. Mimpi apaan tadi? Hueekk!” Dalam alam sadar yang belum sempurna, Dina masih dapat merasakan sensasi jijik dan mual yang luar biasa. Keringat membasahi dahinya. Kang Faris yang masih nyenyak dalam buaian tampak tak terusik.
“Baru jam satu, belum saatnya sahur.” Dina berkata lirih. Ia bersiap menarik selimut kembali, meski
pikirannya masih sedikit terusik dengan bunga tidurnya barusan. Perasaannya campur aduk, hingga akhirnya rasa
kantuk berhasil mengalahkan kecamuk batinnya.
Ia kembali lelap.
***
Siang terik membuat Dina malas beranjak
dari sofa. Setelah beberapa kali
mengganti chanel televisi, akhirnya acara infotainment menjadi pilihan akhir
yang paling menarik.
“Ma!
Ada tante Rosi!” Iqbal berteriak
dari ruang depan.
“Iya, Bal, suruh masuk aja!” Dina balas berteriak. “Enak juga nih nonton gosip sambil
ngobrol. Bakalan lebih seru.” Pikirnya.
“Yah, si eta mah udahlah hamil di
luar nikah, sekarang malah cari sensasi mau nikah sama pejabat.” Tiba-tiba Rosi telah berdiri di samping
sofa.
“Heu euh. Dari dulu kelakuan nggak pernah bener. Udah putus urat malunya artis satu ini
mah.” Dina menegakkan posisi duduk,
memberi ruang bagi Rosi untuk ikut bergabung.
Keduanya larut dalam keseruan kisah hidup yang semakin berbumbu.
“Tah, ustadz ini ketauan juga
jeleknya. Dari dulu saya juga udah
curiga, ada maen sama perempuan.
Selingkuhnya teh sama artis seksi lagi.
Ah, kacaulah dunia.” Topik
berganti, kali ini giliran Dina membuka komentar.
“Ustadz juga manusia atuh, bukan
malaikat. Ah, mending jangan ngaku
ustadz lah kalo’ gitu mah.” Pernyataan
Rosi menyatakan sebuah persetujuan.
“Gayanya sih selangit, sok
suci. Parah. Sama yang seksi kegoda juga geuningan.”
“Sebelum nikah sama yang sekarang
kan memang udah pernah cerai. Katanya
sih, istri pertama ditinggalin karena kalah cantik. Lah yang sekarang mau ditinggalin juga karena
kalah seksi.”
Obrolan kian seru, bahkan berlanjut
setelah acara berakhir. Beberapa nama
selebritis ikut dilibatkan dalam perbincangan yang semakin memanas.
“Tin! Tin!” Klakson mobil berahasil memotong
percakapan. Kang Faris pulang.
“Astaghfirullah, udah sore? Belum nyiapin buat buka.” Rosi mendadak tersadar. “Ya udah, aku pulang atuh ya. Belum masak nasi malah.” Setelah berpamitan, bergegas ia menuju pintu,
meninggalkan Dina yang juga tak kalah kelabakan. Ia pun belum menyiapkan makanan untuk berbuka
puasa.
“Untung udah masak nasi. Lauknya beli aja ah, nggak sempet
masak.” Dina mematikan televisi, tepat
beberapa saat sebelum Kang Faris beranjak masuk ke dalam rumah.
***
Suasana taraweh di malam ke 13 masih
terbilang ramai. Setelah menuntaskan
shalat witir dan berdoa, sebagian jama’ah saling bersalaman, lalu perlahan
meninggalkan ruang masjid. Dina, Rosi,
Laras, serta Mira masih duduk sembari merapihkan mukena.
“Eh, kenapa si Amel nggak pernah
ikutan taraweh?” Kan deket atuh
rumahnya. Tinggal beberapa langkah dari
masjid.” Laras memulai obrolan. Ia yakin akan mendapat tanggapan seru dari
rekan-rekannya.
“Ah, Amel mah puasa juga nggak tahu
iya apa nggak. Tau tah Islam atau
bukan.” Benar saja, pancingan Laras
langsung disambar oleh Dina.
“Masa’? Bukannya memang Islam. Waktu itu mah sempet ikut acara pengajian,
tapi cuman sekali-kalinya sih.” Kini
berlanjut ke mulut Rosi.
“Islam sih, tapi suaminya kan non
muslim. Palingan dianya juga Islam KTP.” Mira tak mau ketinggalan.
“Oh, jadi suaminya bukan
muslim? Kenapa atuh? Kan haram?”
“Kamu kata siapa suaminya bukan
muslim?” Kian panjang dan mengundang
penasaran.
“Kata orang sih. Tapi banyak yang bilang. Lagian atuh da suaminya nggak pernah gabung
kalo’ ada acara. Nggak pernah shalat ke
masjid. Kaya’nya bener deh non muslim.”
“Parah juga si Amel. Nggak paham agama apa?”
Suasana sekitaran masjid kian sunyi
dari para jama’ah, sementara empat wanita tadi kian asyik bercerita.
“Ehm, ibu-ibu pada mau i’tikaf di
sini?” Ridho, sang marbot masjid mau tak
mau akhirnya harus bersuara. Sebenarnya
hingga larut malam pun masjid tak akan menutup pintu dari para jama’ah yang
hendak berlama-lama. Namun sepintas lalu
telinga Ridho sempat menangkap isi pembicaraan kelompok ibu-ibu itu, sehingga
ia merasa perlu untuk ‘membubarkan’ obrolan sebelum semakin jauh membuka aib
seseoarang.
“Eh iya, dho. Ini mau kok.
Kenapa gitu? Pintunya udah mau dikunci?” Dina mewakili ketiga temannya.
“Nggak ibu, mangga kalo’ mau
bermalam di sini juga. Tapi dalam
i’tikaf, ada baiknya diisi dengan tilawah atau berdzikir.” Rada kikuk Ridho memberi nasihat. Ridho yang masih belia merasa canggung harus
menegur ibu-ibu yang secara usia jauh berada di atasnya.
“Ah si Ridho mah, nggak asyik
ah. Ngobrol juga kan mempererat
silaturahim.” Rosi menimpali, meski
akhirnya mereka mengalah, segera berkemas dan meninggalkan masjid. Sementara Ridho hanya bisa menggelengkan
kepala seraya beristighfar dalam hati.
Dalam perjalanan pulang, obrolan
ternyata tak juga hendak dihentikan.
Semakin bersambut, semakin ramai, hingga beberapa nama tetangga yang
lain tak sengaja turut terjaring dalam gosip.
Garis finish percakapan baru dicapai saat satu persatu personil akhirnya
tiba di depan rumah, dan mengucapkan selamat tinggal. Meski satu kalimat yang bernada sama masih
sempat disampaikan. “Lanjut besok lagi
ya!”
Di dalam rumah, Dina pun masih belum
puas membahas status pernikahan Amel yang kabarnya berbeda agama. Kali ini Kang Faris yang dipaksa untuk setia
mendengar. Ia tak perduli, meski sang suami
telah berkali-kali menguap serta memberikan tanggapan ala kadarnya. Dina baru benar-benar berhenti berceloteh
saat ia mendengar dengkuran halus dari sosok lelaki di sisinya itu.
***
Samar suara lantunan ayat suci
alqur’an mulai diperdengarkan melalui corong speaker masjid. Dina tersentak bangun.
“Astaghfirullah!” Tubuhnya terbangun kaku saat menatap jam
dinding menunjukkan pukul 04.15.
Beberapa menit lagi waktu subuh, dan dia belum sempat makan sahur! “Kas Faris mana ya?” Matanya menelusuri sekeliling kamar. Kosong.
“Ke mana lagi si akang. Ah
biarinlah. Aku harus buru-buru
sahur.” Kakinya bergegas melangkah menuju
dapur. Ajaib, di atas meja makan telah
tersedia aneka hidangan yang menggugah selera.
Dina mengerjapkan mata berkali-kali.
Masih sulit dipercaya, ia tak harus bersusah memasak. Siapa yang menyiapkan semua ini? Keterkejutan Dina tak berlangsung lama, demi menyadari
waktu sahur yang samakin menyempit.
Segera ia duduk dan mulai mengambil nasi beserta aneka lauk pauknya.
“Enak kaya’nya nih.” Meski masih menyimpan heran, Dina tak hendak
membuang waktu. Ia pun memulai suapan
pertama.
“Hueek!! Iihh! Naon ieu teh??! Astaghfirullah!” Terulang lagi. Santapan yang semula menggugah selera
mendadak berubah drastis menjadi daging busuk, darah kental, juga puluhan
belatung. Dina mual luar biasa. Ia berlari menuju kamar mandi, berusaha
memuntahkan segala yang sempat dicecap oleh lidahnya. Teraduk-aduk isi perutnya. Kepalanya pun serasa berputar. Bau amis seakan menempel di hidungnya.
“Arrhgg!” Dina tersadar dari mimpi buruknya. “Astaghfirullah. Astaghfirullahal adziim.” Ia berusaha menenangkan ritme jantung yang
masih tak normal. Keringat memenuhi
dahi.
“Aya naon, Neng?” Kang Faris rupanya mendengar lirih terikan
istrinya. Ia terjaga.
“Nggak. Mimpi aja.”
Tak hendak Dina membuka cerita.
Ia masih trauma atas mimpinya yang serasa begitu nyata. Ia masih membayangkan mulutnya menyantap
daging manusia. Yah, di dalam mimpi tadi
sekilas ia melihat potongan tubuh manusia, dan dagingnya menjadi santapan di
atas meja makan. Pucat kini wajah
Dina. Lemas, mual, jijik.
“Mimpi? Mimpi naon?”
Kini Kang Faris ikut terduduk di samping Dina. Ia masih bingung melihat ekspresi wajah
istrinya yang tampak menyimpan ngeri.
“Mimpi setan?” Kang Faris kembali bersuara, saat dilihatnya
Dina tetap diam bak orang kesetanan.
“Hueek!” Tak sempat memberi jawaban, Dina segera
berlari menuju kamar mandi. Ia
benar-benar ingin muntah. Sementara itu
Kang Faris kian heran.
“Kamu teh mimpi apa atuh? Meuni kaya’ orang kesambet jin.” Saat telah duduk untuk santap sahur, Kang
Faris kembali membuka pertanyaan. Kepalanya
tak sanggup menerka. Hatinya tak mampu
menyimpan rasa penasaran.
“Ah, pokoknya mah mimpi buruk. Udah ah, aku nggak mau cerita. Lagian mimpi buruk kan katanya nggak boleh
diceritain.” Dina berkelit. Ia malu jika harus menceritakan isi
mimpinya. Lagi pula, ini bukan kali
pertama ia bermimpi tentang hal yang sama.
“Ya udah. Tapi buru itu nasinya dimakan. Keburu adzan subuh. Nanti kalo’ udah tenang dan mau cerita, akang
siap dengerin.” Kang Faris meneguk
segelas air putih. Diliriknya piring
Dina yang masih utuh tak tersentuh. Apa
gerangan mimpi yang sanggup membuang selera makan istrinya?
“Aku lagi males makan.” Hanya air putih yang melewati kerongkongan
Dina. “Akang udah beres makannya?” Kali ini ia bersiap membenahi meja makan.
“Kamu nggak makan? Nanti puasanya gimana?”
“InsyaAllah kuat. Kalo’ dipaksain juga nanti malah
muntah.” Ia menjawab singkat sembari membawa
piring kotor ke tempat cuci piring.
“Kalo’ sakit jangan dipaksain puasa
atuh. Tar diqodho aja. Daripada makin parah.” Pandangan khawatir Kang Faris mengikuti
istirnya yang menghilang di balik dapur.
“Nggak, Kang. InsyaAllah sehat. Akang kalo’ mau ke masjid, jangan lupa tutup
pintu.” Jawaban Dina membuat Kang Faris
menyerah. Ia tak hendak lagi memaksa.
***
Setelah tiga hari terkapar di atas
tempat tidur dan terpaksa membatalkan puasa, Dina kini merasa tubuhnya
berangsung membaik. Entah pengaruh dari
mimpinya atau bukan, yang jelas selama tiga hari ia demam dan tak enak makan.
“Kamu yakin hari ini mau mulai puasa
lagi?” Kang Faris yang tengah santap
sahur tampak heran melihat Dina ikut duduk menemaninya di meja makan. Beberapa hari kemarin ia makan sahur hanya
berdua saja bersama Iqbal.
“InsyaAllah, udah sehat.”
“Ya udah. Makannya dihabisin atuh yah, biar kuat.”
Suasana sahur berjalan sunyi. Mereka makan tanpa banyak bicara.
“Oh iya, kalo’ beneran udah kuat,
nanti sore jangan lupa kita ke rumah Pak Rahman. Ada ceramah sekalian buka bareng. Asa nggak enak kalo’ akang datang sendirian. Diundangnya kan suami istri.”
“Iya, Kang. InsyaAllah.
Aku udah beneran sehat kok.”
***
Suasana halaman rumah Pak Rahman,
sang ketua RT telah ramai oleh penduduk.
Bangsal biru dilengkapi kursi yang tertata rapi telah pula diisi oleh
beberapa keluarga. Saat memasuki
halaman, mata Dina mencari-cari tiga rekannya.
“Kang, aku duduk di sana ya.” Dina meminta restu Kang Faris saat
pandangannya berhasil menangkap sosok Rosi, Laras, juga Mira. Setelah mendapati anggukan suaminya, Dina
segera menempati kursi kosong persis di samping tempat duduk Laras.
“Kamana wae, Din. Tiga malam nggak taraweh. Lagi halangan?” Laras memulai basa-basi.
“Nggak. Aku sakit.
Jadi nggak puasa juga kemaren-kemaren.”
“Kamu sakit apa?” Rosi mengeraskan suara. Namun belum sempat mendapat tanggapan, suara
tuan rumah melalui pengeras suara berhasil mencuri perhatian. Acara segera dimulai. Setelah beberapa sambutan dan pembacaan ayat
suci alqur’an, Pak Rahman mempersilahkan ustadz Jefri untuk memberikan
tausyahnya.
“Mangga, ustadz.” Pak Rahman menyerahkan microfon.
Sebagian isi ceramah berlalu tanpa
bisa dicerna dengan baik, karena Dina sibuk diajak berbincang oleh Laras. Sementara Rosi pun tampak asyik larut dalam
obrolannya bersama Mira.
“Ibu-ibu. Mau nggak kalo’ disuruh makan daging
manusia?” Pertanyaan ustadz Jefri kali
ini akhirnya mengusik gendang telinga Dina.
Kata-kata daging manusia mengingatkan ia akan mimpi beberapa hari
sebelumnya. Kini ia menajamkan
pendengarkan, mengacuhkan Laras yang masih sibuk bersuara.
“Nggak mau atuh pak ustadz. Masa’ iya daging manusia dimakan?” Seorang ibu menimpali.
“Kalo’ dagingnya sudah mati,
gimana? Mau?” Ustadz Jefri menambahkan.
“Apalagi kalo’ daging mati. Bangkai dong ustadz. Bangkai manusia.” Ibu yang lain ikut menanggapi. Dina kian mengencangkan daya dengarnya. Entah mengapa ia merasa tertarik untuk
mendengar materi ceramah kali ini.
Rasanya ada yang unik dan lain dari biasanya.
“Kenapa nggak mau? Jijik?”
Sunyi. Tak ada lagi yang
menimpali. “Ibu-ibu, bapak-bapak, di
dalam sebuah ayat, Allah SWT berfirman: Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari
prasangka itu dosa. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang. Jangan
pula menggunjing satu sama lain. Adakah
seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang.” Ustadz Jefri diam
sejenak. Ia memberi jeda agar para
jama’ah dapat mencerta arti dari ayat yang dibacakannya.
“Kamu kenapa, Din?” Laras tampak heran melihat ekspresi wajah
Dina yang dingin. Tatapan matanya
mendadak jauh ke depan. Ia seperti
ketakutan. Matanya mulai berkaca-kaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih