22 Juli 2013

MANUSIA KANIBAL

                “Allahuakbar, allahuakbar...”

            Lantunan adzan menyapa.  Dan seperti biasa, suara adzan maghrib di bulan ramadhan selalu menjadi alunan merdu yang paling dirindu.

            “Alhamdulillah.”

Dina tak sabar melahap aneka hidangan ta’jil dihadapannya.  Ada kolak labu, puding coklat, es cendol, martabak telor, teh hangat, juga beragam sajian makan malam seperti sop buntut goreng, pepes ikan, tumis kangkung, tempe bacem, serta sambal goreng.  Komplit!

            “Hueekk!!”  Mata Dina membelalak.

“Aih aih!!  Naon ieu??! Iigghh, hueek!”  Baru berkisar kurang dari sepuluh menit menikmati makanan pembuka, Dina mendadak merasakan jijik luar biasa.  Wajar saja, karena aneka makanan yang semula menggoda selera, kini tiba-tiba berubah wujud menjadi daging busuk, darah, serta puluhan belatung.  Puding coklat yang sedang lahap dinikmati pun tak jauh beda, serupa darah kental yang berbau amis.  Alih-alih melanjutkan buka puasa, Dina bergegas menuju kamar mandi, memuntahkan isi perut yang sejatinya masih kosong tak berisi.

            “Astaghfirullah.  Mimpi apaan tadi?  Hueekk!”  Dalam alam sadar yang belum sempurna, Dina masih dapat merasakan sensasi jijik dan mual yang luar biasa.  Keringat membasahi dahinya.  Kang Faris yang masih nyenyak dalam buaian tampak tak terusik.

“Baru jam satu, belum saatnya sahur.”  Dina berkata lirih.  Ia bersiap menarik selimut kembali, meski pikirannya masih sedikit terusik dengan bunga tidurnya barusan.  Perasaannya campur aduk, hingga akhirnya rasa kantuk berhasil mengalahkan kecamuk batinnya.  Ia kembali lelap.

***     

Siang terik membuat Dina malas beranjak dari sofa.  Setelah beberapa kali mengganti chanel televisi, akhirnya acara infotainment menjadi pilihan akhir yang paling menarik. 

            “Ma!  Ada tante Rosi!”  Iqbal berteriak dari ruang depan.

            “Iya, Bal, suruh masuk aja!”  Dina balas berteriak.  “Enak juga nih nonton gosip sambil ngobrol.  Bakalan lebih seru.”  Pikirnya.

            “Yah, si eta mah udahlah hamil di luar nikah, sekarang malah cari sensasi mau nikah sama pejabat.”  Tiba-tiba Rosi telah berdiri di samping sofa. 

            “Heu euh.  Dari dulu kelakuan nggak pernah bener.  Udah putus urat malunya artis satu ini mah.”  Dina menegakkan posisi duduk, memberi ruang bagi Rosi untuk ikut bergabung.  Keduanya larut dalam keseruan kisah hidup yang semakin berbumbu.

            “Tah, ustadz ini ketauan juga jeleknya.  Dari dulu saya juga udah curiga, ada maen sama perempuan.  Selingkuhnya teh sama artis seksi lagi.  Ah, kacaulah dunia.”  Topik berganti, kali ini giliran Dina membuka komentar.

            “Ustadz juga manusia atuh, bukan malaikat.  Ah, mending jangan ngaku ustadz lah kalo’ gitu mah.”  Pernyataan Rosi menyatakan sebuah persetujuan.

            “Gayanya sih selangit, sok suci.  Parah.  Sama yang seksi kegoda juga geuningan.”

            “Sebelum nikah sama yang sekarang kan memang udah pernah cerai.  Katanya sih, istri pertama ditinggalin karena kalah cantik.  Lah yang sekarang mau ditinggalin juga karena kalah seksi.”

Obrolan kian seru, bahkan berlanjut setelah acara berakhir.  Beberapa nama selebritis ikut dilibatkan dalam perbincangan yang semakin memanas.

“Tin! Tin!”  Klakson mobil berahasil memotong percakapan.  Kang Faris pulang.

“Astaghfirullah, udah sore?  Belum nyiapin buat buka.”  Rosi mendadak tersadar.  “Ya udah, aku pulang atuh ya.  Belum masak nasi malah.”  Setelah berpamitan, bergegas ia menuju pintu, meninggalkan Dina yang juga tak kalah kelabakan.  Ia pun belum menyiapkan makanan untuk berbuka puasa.

“Untung udah masak nasi.  Lauknya beli aja ah, nggak sempet masak.”  Dina mematikan televisi, tepat beberapa saat sebelum Kang Faris beranjak masuk ke dalam rumah.

***

            Suasana taraweh di malam ke 13 masih terbilang ramai.  Setelah menuntaskan shalat witir dan berdoa, sebagian jama’ah saling bersalaman, lalu perlahan meninggalkan ruang masjid.  Dina, Rosi, Laras, serta Mira masih duduk sembari merapihkan mukena.

            “Eh, kenapa si Amel nggak pernah ikutan taraweh?”  Kan deket atuh rumahnya.  Tinggal beberapa langkah dari masjid.”  Laras memulai obrolan.  Ia yakin akan mendapat tanggapan seru dari rekan-rekannya.

            “Ah, Amel mah puasa juga nggak tahu iya apa nggak.  Tau tah Islam atau bukan.”  Benar saja, pancingan Laras langsung disambar oleh Dina.

            “Masa’?  Bukannya memang Islam.  Waktu itu mah sempet ikut acara pengajian, tapi cuman sekali-kalinya sih.”  Kini berlanjut ke mulut Rosi.

            “Islam sih, tapi suaminya kan non muslim.  Palingan dianya juga Islam KTP.”  Mira tak mau ketinggalan.

            “Oh, jadi suaminya bukan muslim?  Kenapa atuh?  Kan haram?”

            “Kamu kata siapa suaminya bukan muslim?”  Kian panjang dan mengundang penasaran.

            “Kata orang sih.  Tapi banyak yang bilang.  Lagian atuh da suaminya nggak pernah gabung kalo’ ada acara.  Nggak pernah shalat ke masjid.  Kaya’nya bener deh non muslim.”

            “Parah juga si Amel.  Nggak paham agama apa?”

            Suasana sekitaran masjid kian sunyi dari para jama’ah, sementara empat wanita tadi kian asyik bercerita.

            “Ehm, ibu-ibu pada mau i’tikaf di sini?”  Ridho, sang marbot masjid mau tak mau akhirnya harus bersuara.  Sebenarnya hingga larut malam pun masjid tak akan menutup pintu dari para jama’ah yang hendak berlama-lama.  Namun sepintas lalu telinga Ridho sempat menangkap isi pembicaraan kelompok ibu-ibu itu, sehingga ia merasa perlu untuk ‘membubarkan’ obrolan sebelum semakin jauh membuka aib seseoarang.

            “Eh iya, dho.  Ini mau kok.  Kenapa gitu?  Pintunya udah mau dikunci?”  Dina mewakili ketiga temannya.

            “Nggak ibu, mangga kalo’ mau bermalam di sini juga.  Tapi dalam i’tikaf, ada baiknya diisi dengan tilawah atau berdzikir.”  Rada kikuk Ridho memberi nasihat.  Ridho yang masih belia merasa canggung harus menegur ibu-ibu yang secara usia jauh berada di atasnya.

            “Ah si Ridho mah, nggak asyik ah.  Ngobrol juga kan mempererat silaturahim.”  Rosi menimpali, meski akhirnya mereka mengalah, segera berkemas dan meninggalkan masjid.  Sementara Ridho hanya bisa menggelengkan kepala seraya beristighfar dalam hati.

            Dalam perjalanan pulang, obrolan ternyata tak juga hendak dihentikan.  Semakin bersambut, semakin ramai, hingga beberapa nama tetangga yang lain tak sengaja turut terjaring dalam gosip.  Garis finish percakapan baru dicapai saat satu persatu personil akhirnya tiba di depan rumah, dan mengucapkan selamat tinggal.  Meski satu kalimat yang bernada sama masih sempat disampaikan.  “Lanjut besok lagi ya!”

            Di dalam rumah, Dina pun masih belum puas membahas status pernikahan Amel yang kabarnya berbeda agama.  Kali ini Kang Faris yang dipaksa untuk setia mendengar.  Ia tak perduli, meski sang suami telah berkali-kali menguap serta memberikan tanggapan ala kadarnya.  Dina baru benar-benar berhenti berceloteh saat ia mendengar dengkuran halus dari sosok lelaki di sisinya itu.

***

            Samar suara lantunan ayat suci alqur’an mulai diperdengarkan melalui corong speaker masjid.  Dina tersentak bangun.

            “Astaghfirullah!”  Tubuhnya terbangun kaku saat menatap jam dinding menunjukkan pukul 04.15.  Beberapa menit lagi waktu subuh, dan dia belum sempat makan sahur!  “Kas Faris mana ya?”  Matanya menelusuri sekeliling kamar.  Kosong.  “Ke mana lagi si akang.  Ah biarinlah.  Aku harus buru-buru sahur.”  Kakinya bergegas melangkah menuju dapur.  Ajaib, di atas meja makan telah tersedia aneka hidangan yang menggugah selera.  Dina mengerjapkan mata berkali-kali.  Masih sulit dipercaya, ia tak harus bersusah memasak.  Siapa yang menyiapkan semua ini?  Keterkejutan Dina tak berlangsung lama, demi menyadari waktu sahur yang samakin menyempit.  Segera ia duduk dan mulai mengambil nasi beserta aneka lauk pauknya.

            “Enak kaya’nya nih.”  Meski masih menyimpan heran, Dina tak hendak membuang waktu.  Ia pun memulai suapan pertama.

            “Hueek!! Iihh!  Naon ieu teh??!  Astaghfirullah!”  Terulang lagi.  Santapan yang semula menggugah selera mendadak berubah drastis menjadi daging busuk, darah kental, juga puluhan belatung.  Dina mual luar biasa.  Ia berlari menuju kamar mandi, berusaha memuntahkan segala yang sempat dicecap oleh lidahnya.  Teraduk-aduk isi perutnya.  Kepalanya pun serasa berputar.  Bau amis seakan menempel di hidungnya.

            “Arrhgg!”  Dina tersadar dari mimpi buruknya.  “Astaghfirullah.  Astaghfirullahal adziim.”  Ia berusaha menenangkan ritme jantung yang masih tak normal.  Keringat memenuhi dahi.

            “Aya naon, Neng?”  Kang Faris rupanya mendengar lirih terikan istrinya.  Ia terjaga.

            “Nggak.  Mimpi aja.”  Tak hendak Dina membuka cerita.  Ia masih trauma atas mimpinya yang serasa begitu nyata.  Ia masih membayangkan mulutnya menyantap daging manusia.  Yah, di dalam mimpi tadi sekilas ia melihat potongan tubuh manusia, dan dagingnya menjadi santapan di atas meja makan.  Pucat kini wajah Dina.  Lemas, mual, jijik.

            “Mimpi?  Mimpi naon?”  Kini Kang Faris ikut terduduk di samping Dina.  Ia masih bingung melihat ekspresi wajah istrinya yang tampak menyimpan ngeri.

            “Mimpi setan?”  Kang Faris kembali bersuara, saat dilihatnya Dina tetap diam bak orang kesetanan.

            “Hueek!”  Tak sempat memberi jawaban, Dina segera berlari menuju kamar mandi.  Ia benar-benar ingin muntah.  Sementara itu Kang Faris kian heran.

            “Kamu teh mimpi apa atuh?  Meuni kaya’ orang kesambet jin.”  Saat telah duduk untuk santap sahur, Kang Faris kembali membuka pertanyaan.  Kepalanya tak sanggup menerka.  Hatinya tak mampu menyimpan rasa penasaran.

            “Ah, pokoknya mah mimpi buruk.  Udah ah, aku nggak mau cerita.  Lagian mimpi buruk kan katanya nggak boleh diceritain.”  Dina berkelit.  Ia malu jika harus menceritakan isi mimpinya.  Lagi pula, ini bukan kali pertama ia bermimpi tentang hal yang sama.

            “Ya udah.  Tapi buru itu nasinya dimakan.  Keburu adzan subuh.  Nanti kalo’ udah tenang dan mau cerita, akang siap dengerin.”  Kang Faris meneguk segelas air putih.  Diliriknya piring Dina yang masih utuh tak tersentuh.  Apa gerangan mimpi yang sanggup membuang selera makan istrinya?

            “Aku lagi males makan.”  Hanya air putih yang melewati kerongkongan Dina.  “Akang udah beres makannya?”  Kali ini ia bersiap membenahi meja makan.

            “Kamu nggak makan?  Nanti puasanya gimana?”

            “InsyaAllah kuat.  Kalo’ dipaksain juga nanti malah muntah.”  Ia menjawab singkat sembari membawa piring kotor ke tempat cuci piring.

            “Kalo’ sakit jangan dipaksain puasa atuh.  Tar diqodho aja.  Daripada makin parah.”  Pandangan khawatir Kang Faris mengikuti istirnya yang menghilang di balik dapur.

            “Nggak, Kang.  InsyaAllah sehat.  Akang kalo’ mau ke masjid, jangan lupa tutup pintu.”  Jawaban Dina membuat Kang Faris menyerah.  Ia tak hendak lagi memaksa.

***

            Setelah tiga hari terkapar di atas tempat tidur dan terpaksa membatalkan puasa, Dina kini merasa tubuhnya berangsung membaik.  Entah pengaruh dari mimpinya atau bukan, yang jelas selama tiga hari ia demam dan tak enak makan.

            “Kamu yakin hari ini mau mulai puasa lagi?”  Kang Faris yang tengah santap sahur tampak heran melihat Dina ikut duduk menemaninya di meja makan.  Beberapa hari kemarin ia makan sahur hanya berdua saja bersama Iqbal.

            “InsyaAllah, udah sehat.”

            “Ya udah.  Makannya dihabisin atuh yah, biar kuat.”

            Suasana sahur berjalan sunyi.  Mereka makan tanpa banyak bicara.

            “Oh iya, kalo’ beneran udah kuat, nanti sore jangan lupa kita ke rumah Pak Rahman.  Ada ceramah sekalian buka bareng.  Asa nggak enak kalo’ akang datang sendirian.  Diundangnya kan suami istri.”

            “Iya, Kang.  InsyaAllah.  Aku udah beneran sehat kok.”

***

            Suasana halaman rumah Pak Rahman, sang ketua RT telah ramai oleh penduduk.  Bangsal biru dilengkapi kursi yang tertata rapi telah pula diisi oleh beberapa keluarga.  Saat memasuki halaman, mata Dina mencari-cari tiga rekannya.

            “Kang, aku duduk di sana ya.”  Dina meminta restu Kang Faris saat pandangannya berhasil menangkap sosok Rosi, Laras, juga Mira.  Setelah mendapati anggukan suaminya, Dina segera menempati kursi kosong persis di samping tempat duduk Laras.

            “Kamana wae, Din.  Tiga malam nggak taraweh.  Lagi halangan?”  Laras memulai basa-basi.

            “Nggak.  Aku sakit.  Jadi nggak puasa juga kemaren-kemaren.”

            “Kamu sakit apa?”  Rosi mengeraskan suara.  Namun belum sempat mendapat tanggapan, suara tuan rumah melalui pengeras suara berhasil mencuri perhatian.  Acara segera dimulai.  Setelah beberapa sambutan dan pembacaan ayat suci alqur’an, Pak Rahman mempersilahkan ustadz Jefri untuk memberikan tausyahnya.

            “Mangga, ustadz.”  Pak Rahman menyerahkan microfon.

            Sebagian isi ceramah berlalu tanpa bisa dicerna dengan baik, karena Dina sibuk diajak berbincang oleh Laras.  Sementara Rosi pun tampak asyik larut dalam obrolannya bersama Mira.

            “Ibu-ibu.  Mau nggak kalo’ disuruh makan daging manusia?”  Pertanyaan ustadz Jefri kali ini akhirnya mengusik gendang telinga Dina.  Kata-kata daging manusia mengingatkan ia akan mimpi beberapa hari sebelumnya.  Kini ia menajamkan pendengarkan, mengacuhkan Laras yang masih sibuk bersuara.

            “Nggak mau atuh pak ustadz.  Masa’ iya daging manusia dimakan?”  Seorang ibu menimpali.

            “Kalo’ dagingnya sudah mati, gimana?  Mau?”  Ustadz Jefri menambahkan.

            “Apalagi kalo’ daging mati.  Bangkai dong ustadz.  Bangkai manusia.”  Ibu yang lain ikut menanggapi.  Dina kian mengencangkan daya dengarnya.  Entah mengapa ia merasa tertarik untuk mendengar materi ceramah kali ini.  Rasanya ada yang unik dan lain dari biasanya.

            “Kenapa nggak mau?  Jijik?”  Sunyi.  Tak ada lagi yang menimpali.  “Ibu-ibu, bapak-bapak, di dalam sebuah ayat, Allah SWT berfirman:  Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa.  Dan janganlah mencari-cari keburukan orang.  Jangan pula menggunjing satu sama lain.  Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?  Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.  Dan bertakwalah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”  Ustadz Jefri diam sejenak.  Ia memberi jeda agar para jama’ah dapat mencerta arti dari ayat yang dibacakannya.

            “Kamu kenapa, Din?”  Laras tampak heran melihat ekspresi wajah Dina yang dingin.  Tatapan matanya mendadak jauh ke depan.  Ia seperti ketakutan.  Matanya mulai berkaca-kaca.

            “Din?”  Rosi tak kalah heran.  Sementara yang diajak bicara semakin menggigil.  Daging manusia.  Gunjing.  Ah, ia kini tiba-tiba kembali merasa mual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih

Memeluk Kenangan

Saat aku mencoba melupakan namun gagal, Saat itulah aku memutuskan untuk berhenti melupakan. Berdamai. Merangkai kisah dalam ...