25 Maret 2015

Ini Bicara Tentang Kesedihan

Sahabat, ini bicara tentang kesedihan.

Saat rasa sedih demikian menghimpit, dada terasa sesak, mata terasa panas, namun ruang seolah tak memberi celah untuk sekadar menangis.  Padahal bukankah yang paling dekat dan mungkin untuk dilakukan saat bersedih adalah menangis??

Jika menangis saja seakan tak lagi mendapat kesempatan, terkadang pikiran konyol dan naif terlintas di dalam pikiran.

Saya kadang berfikir, untuk menjadi manusia tak berhati.  Sehingga tak perlu merasa sedih, tak akan merasa takut, khawatir, meski juga berarti tak akan pernah tahu seperti apa rasanya bahagia.
Hidup berjalan lurus, tanpa pernah peduli pada apapun.  Bagaikan robot yang dingin dan cuek.

Haha...
pikiran bodoh memang.

Baiklah, jikapun tak mungkin menjadi manusia tak berhati, setidaknya bukan juga menjadi manusia yang terlalu melow.

Terkadang saya iri dengan sebagian orang yang tampak begitu cuek dan tak mudah menitikkan air mata.  Berbagai kesedihan hanya sekadar angin lalu, seolah tak berpengaruh.  Mereka tetap menjalani hidup seperti biasa, tanpa ada ganjalan yang menyesakkan dada.  Saya mengenal beberapa manusia dengan tipe ini, dan mereka kadang membuat saya iri.

Sahabat, ini bicara tentang kesedihan.

Saya memang bukan tipe orang yang tegar luar biasa.  Tetapi parahnya, saya selalu berusaha untuk terlihat tegar.

Saya bukan orang yang sesungguhnya kuat menahan tangis, tetapi bodohnya bahwa saya tidak suka mengumbar tangis di depan banyak orang.

Dada saya sejujurnya tak sanggup menahan sesak, menyimpan kesedihan seorang diri.  Tetapi anehnya, saya selalu merasa sok kuat dengan tidak menceritakan kesedihan saya kepada siapapun.

Entah mengapa begitu sulit bagi saya untuk sekadar berbagi kisah sedih.  Seakan saya tak menemukan orang yang pantas untuk mendengar cerita sedih saya.  Bukankah setiap orang punya masalah, punya kisah sedih?  Lalu mengapa pula saya membebani mereka dengan tambahan kesedihan?

Mungkin ini adalah satu lagi hal aneh yang ada di dalam pikiran saya.

Saat sedih saya lebih senang menyendiri, menjemput sunyi, lalu menangis sepuasnya di hadapan Allah.  Saya tumpahkan semua, untuk kemudian kembali (berpura) tersenyum di hadapan semua orang.

Lalu bagaimana ketika sunyi tak kunjung datang.   Dalam keramaian tak berujung, di mana kesempatan saya untuk menangis?

Di sinilah letak kesulitannya.

Sahabat, ini bicara tentang kesedihan.

Hal tersulit bagi saya dalam kesedihan adalah saat saya berjuang menahan air mata, ketika ia bahkan tak bersedia lagi untuk ditahan.

Saat saya harus ikut tertawa, sementara hati tak hendak meski sekadar memberi senyum.

Dan hal paling menyedihkan dari kesedihan bagi saya adalah, ketika saya tak juga menemukan tempat berbagi, sementara saya merasa sangat membutuhkan bahu untuk menangis.

Dan ini, memang berbicara tentang sebuah kesedihan.



Salam,


Wafiyyatunnisa Asy Syu'lah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Karena banyak yang mengalami kesulitan dalam mengisi komentar, berikut panduan singkatnya:
Untuk memberi komentar tanpa login, silahkan pilih 'Name/URL' pada kolom 'Beri komentar sebagai', lalu masukkan nama anda (URL silahkan dikosongkan). Kemudian masukkan komentar yang ingin disampaikan. Terimakasih

Memeluk Kenangan

Saat aku mencoba melupakan namun gagal, Saat itulah aku memutuskan untuk berhenti melupakan. Berdamai. Merangkai kisah dalam ...