Tidaklah mudah di zaman ini
berpuncak dari hati yang rusak
Karena dunia memautnya
"Sudahlah, biarkan ikan itu pergi dengan tenang." Nanang menepuk pelan pundak Damang, berlagak simpati. Sudah beberapa hari ini ia perhatikan sahabatnya itu memiliki hobi baru. Entah hobi atau nasib, yang jelas menurut Nanang sama sekali tidak ada manfaatnya. Sohib dekatnya itu selalu tertangkap basah saat sedang melamun.
"Busyet
dah. Aku aja yang dari tadi di sini baru
nyadar kalo' ada ikan mati."
Celetuk Damang sembari melirik seekor ikan mengambang pasrah dalam kolam
tepat di hadapannya.
"Emang
beneran ada yang mati? Padahal tadi itu
aku cuman godain kamu aja kali. Lagian
kamu akhir-akhir ini hobi melamun. Tar
kesambet lho!"
Damang
diam, membiarkan Nanang ikut duduk menemaninya di sisi kolam. Cuaca tidak jelas -maksudnya nggak mendung,
nggak juga panas- kian membuat suasana jadi tak menentu bagi Damang. Taman ganesha di waktu sore masih lumayan
ramai oleh beberapa mahasiswa ITB. Ada
yang belajar kelompok, ada yang asyik berduaan sambil makan siomay, ada juga
yang tertawa sendirian, ditemani note atau android kesayangan.
Sepasang mata mengawasi, seperti detektif sedang mengamati targetnya. Tidak, mata itu lebih sayu. Tidak setajam mata detektif. Tapi di balik sayunya, ia cermat mengawasi.
***
Aku berjalan menyusuri koridor menuju ruang
guru. Sebelum masuk aku melihat Eka
berdiri tak jauh di bawah teras, persis menghadap ke dalam ruangan. Seulas senyum aku lemparkan, namun ia hanya
menatap nanar. "Ah, selalu
begitu."
Bergegas aku masuk, melewati beberapa guru yang sedang asyik berbincang di ruang tamu. "Permisi, Bu." Ucapku santun sambil berlalu ke meja Bu Heni, wali kelasku. Setelah meletakkan tumpukan buku tugas para siswa, aku bergegas keluar. Sementara Eka, dia masih saja di sana.
Aku sunyi. Parah! Mengapa tiada barang satu dua orang teman? Apa akan begini hingga tarikan nafas pamungkas? Hhh! Dengarlah, aku perlu bersuara. Gigi yang tersimpan dalam rongga mulut pun mulai kering, tersebab lama bersembunyi.
Kau mungkin mengira aku terpenjara
dalam ruang pengap, tanpa kehidupan.
Atau boleh jadi kau menyangka aku tengah terlempar ke planet antah
barantah yang belum lagi berpenghuni. Salah! Sandiwara yang kulakoni jauh lebih
mengerikan. Aku bernafas di antara jutaan
manusia yang tiap saat berganti, hilir mudik entah menyibukkan apa. Di tengah mereka aku mengeja waktu, detik
demi detik. Yah, aku hidup di bumi,
bahkan di tengah kota besar yang penduduknya kian membludak. Tapi mengapa di tengah ramai insan justru aku
mengecap tragisnya kesunyian? Entah.
***
Saat aku mencoba melupakan namun gagal, Saat itulah aku memutuskan untuk berhenti melupakan. Berdamai. Merangkai kisah dalam ...